Minggu berikutnya, aku disibukkan dengan urusan di rumah dan persiapan pernikahan Kak Reno. Tinggal beberapa hari lagi, acara pernikahannya akan berlangsung. Beberapa saudara dan sepupuku datang berkumpul di hari Sabtu untuk membicarakan acara ini. Aku sangat senang bertemu dengan sepupu perempuanku, Yani. Ia tinggal dan datang langsung dari Kota Semarang. Aku sudah lama tak bertemu dengannya. Mungkin sekitar hampir dua tahun sejak ia pindah ke kota itu. Meski kami sepupu, namun umur kami tidak berbeda jauh.
“Nora!” panggilnya semangat saat mereka sampai di rumah pukul 10 pagi di hari Sabtu. Ia berlari dan buru-buru memelukku. Orangtuanya, Pakde dan Bukde, juga ikut turun dari mobil mereka, menyapaku dan orangtuaku.
“Hai, Nora,” sapa Bukde. “Tambah tinggi saja kamu sekarang. Sudah jadi anak gadis sekarang, ya.” Ia membelai rambutku dan mendongakkan daguku. Aku tersenyum malas dan merasa seperti gadis kecil daripada gadis remaja di depannya.
“Bu, jangan begitu, dong. Nora ‘kan bukan anak kecil lagi,” sahut Yani. Bukde melepaskan daguku dan tertawa kecil.
“Iya, deh. Maaf, ya. Nanti pacar kamu marah, Bukde yang salah.”
Pacar, kata itu pernah kudambakan sebelumnya. Akan tetapi, rasanya sudah terdengar tidak berarti lagi untukku. Aku tersenyum manis pada Bukde dan menggelengkan kepala pelan. “Ah, Bukde bisa saja. Aku belum punya pacar,” jawabku sambil tersenyum. Ia malah tidak percaya begitu saja
“Masa gadis yang manis kayak kamu nggak ada yang naksir?” tanya Bukde menggodaku. Namun, beruntung ibu dan ayah menyelamatkanku yang mulai terpojok. Mereka mengajak Bukde, Pakde dan Yani masuk ke dalam rumah.
Aku lantas mengajak Yani ke kamarku. Kami berbagi cerita tentang apa yang terjadi di sekolah masing-masing. Sudah hampir dua tahun, Yani masih kesulitan untuk berbaur di sekolahnya. Wajar saja, ia pindahan langsung dari Jakarta. Teman-temannya semua fasih berbahasa Jawa, sedangkan ia sama sekali tidak mengerti bahasa itu. Bahkan, ada mata pelajaran Bahasa Jawa yang harus ia pelajari setiap minggunya. Ia mengeluh betapa sulitnya pelajaran tersebut, bahkan lebih sulit dari pelajaran Matematika yang kupelajari baru-baru ini di sekolah. Aku tidak dapat menahan tawa mendengarnya dan meledeknya habis-habisan. Ia cemberut dan lantas mengalihkan pembicaraannya.
“Jadi, sebenarnya kau sudah punya pacar atau belum?” tanyanya tiba-tiba.
“Eh… kenapa nanya gitu?” jawabku bingung. Ia menatapku sesaat, lalu menatap kukunya yang baru saja dihias.
“Aku lihat gelagat dan cara tawamu yang aneh saat Ibu nyinggung hal itu juga tadi,” jelasnya. “Kayaknya kau hanya alasan saja.” Entah bagaimana aku harus menjelaskan situasiku dengannya. Meskipun kami seumur, akan tetapi ia tampak lebih muda dariku. Aku masih merasa seperti bicara dengan adikku sendiri daripada dengan yang benar-benar seumur denganku.
“Mem… memang nggak punya, kok,” jawabku gugup. Matanya melirikku lagi, lalu kembali menatap kuku jarinya seolah sedang memeriksa apa ada cat kuku yang berantakan.
“Sudah kutebak. Kau sudah punya pacar. Tapi kayaknya lagi ada masalah dengan pacarmu itu, ya?” ujarnya. Entah kenapa, jantungku mendadak berdegup kencang seolah rahasiaku sudah ketahuan. “Ya, kan?” tambahnya.
“Dengar, Yani. Aku memang nggak punya pacar,” jelasku. “Aku ini masih anak SMP.”
“Oke, kalau nggak mau ngaku juga nggak apa-apa.” balasnya. “Kau tahu kita sudah lama kenal dan umur kita sama, Ra. Jadi, aku sudah tahu sifatmu yang hanya pura-pura.”
“Tapi, aku memang…” Tiba-tiba, pembicaraan kami pun terputus saat Ibu memanggil kami berdua untuk turun ke lantai satu. Ternyata, ada beberapa saudara-saudara kami yang lain sudah datang. Aku dan Yani pun segera bergegas turun ke lantai satu.