Di minggu berikutnya, hari-hari tampak normal bagiku. Aku menjalani aktivitas seperti biasanya. Menggambar sudah jadi bakatku sekarang dibandingkan sebagai hobi biasa. Di kelas Seni, aku jadi anak murid dengan nilai tertinggi. Sungguh menyenangkan. Kupikir, Nora yang menginspirasi semua gambar-gambar yang kubuat. Sampai hal itu sudah tidak menarik perhatiannya lagi.
Di sekolah, aku terus diam-diam memerhatikan Nora saat di kelas atau saat berjalan kaki pulang sekolah. Ia semakin tampak cantik. Mataku seolah baru terbuka lebar sekarang saat menatapnya.
Tiba-tiba, hati kecilku berbisik bahwa mungkin aku harus menyatakan perasaanku padanya. Mungkin, ia sudah menunggunya sejak lama. Saat jam istirahat, aku menunggunya di tempat biasa kami menyantap makan siang. Kupikir, bangku taman bawah pohon di depan kelas satu ini jadi tempat yang tepat untukku menyatakan perasaanku padanya dan menjadi saksi bisu untuk hubungan kami hingga lulus SMP nanti. Sambil melamunkan dirinya, aku tersenyum kecil. Semoga latihan kecilku tidak sia-sia.
Tidak salah dengar, aku berlatih untuk mengatakannya agar terdengar lebih romantis daripada bilang aku suka padamu atau aku mencintaimu. Itu menyita waktu cukup lama di depan cermin di kamarku, bahkan di toilet laki-laki di sekolah. Namun, sampai bel istirahat berbunyi saat itu, ia tidak kunjung muncul ke bangku taman.
Keesokan harinya, aku tidak menyerah begitu saja. Aku sengaja datang ke sekolah pagi sekali. Pak Joko baru saja membuka gerbang sekolah dan menunggu para guru datang. Ia melihatku sambil celingukan heran. Ia menatapku dari atas hingga ke bawah, lalu melihat ke langit pagi yang cerah. Aku heran kenapa ia melihatku seperti itu.
“Wah, nanti siang bakal hujan, nih,” gumamnya.
“Kenapa ngeliatin saya kayak gitu, Pak?” tanyaku.
“Kamu yang kenapa, den. Pagi buta begini udah di sekolah,” jawabnya. “Sekolah juga baru buka. Kamu mau gantiin Bapak jadi satpam, ya?” Aku tertawa kecil mendengarnya, tetapi juga tidak mungkin aku mengatakan bahwa aku melakukan ini untuk Nora atau supaya aku bisa mendapat waktu bersamanya berdua sebelum murid-murid yang lain berdatangan.
“Ya, nggak, atuh, Pak. Saya dateng pagi teh supaya nggak dihukum Bu Yani. ‘Kan galak pisan tuh orang,” jawabku sok-sok berlogat Sunda sambil cengengesan. Kupikir, Pak Joko lantas ikut tertawa mendengar leluconku. Namun, ia malah menundukkan kepala dan sikapnya jadi aneh setelahnya.
“Pak?” panggilku. “Kenapa jadi aneh begitu?” Aku mengerutkan keningku. Ia menatapku tajam sambil menjungurkan mulutnya seolah sedang memberi isyarat.
“Maksudnya apa bilang saya galak? Mau saya hukum?” tegur keras dari Bu Yani yang tiba-tiba berdiri di belakangku.
“Ng… nggak, Bu. Saya hanya bercanda,” jawabku terbatah-batah lantaran kaget dan panik. Pak Joko tidak dapat menahan tawa yang tampak puas saat melihatku kena tegurnya. Aku hanya menundukkan kepala karena malu. Bu Yani tidak menghiraukanku lagi dan melenggang masuk menuju kantor yang tak jauh dari tempat parkir kendaraan. Pak Joko membungkuk padanya saat ia lewat di depannya dan mengucapkan selamat pagi. Hampir saja, aku kena sial.
“Makanya, jangan ngomong sembarang, den,” Pak Joko menasehati dan lanjut tertawa puas.
Hampir setengah jam, aku berada di kelas seorang diri. Sesekali, aku gelisah dan beranjak ke luar kelas. Beberapa guru dan murid dari kelas lain sudah mulai berdatangan. Tapi, dimana Nora? Kenapa dia belum juga kelihatan?
Hari Rabu pagi itu, pelajaran komputer jadi pelajaran pertama, yang seharusnya jadi pelajaran terakhir. Jadi saat melihat Pak Wino sedang membuka kunci pintu ruang komputer, aku langsung menghampirinya. “Pagi, Pak,” sapaku tersenyum pada Pak Wino.
Pak Wino tersentak kaget melihatku sudah berdiri di sebelahnya. Ia menatapku dari ujung kepala hingga ujung kaki, lalu melihat ke arah langit pagi yang cerah. Namun, aku langsung menjawab sebelum ia mulai bergumam.