Hujan sore ini telah mereda, menyisakan gerimis kecil dengan genangan air dimana-mana. Semburat jingga yang biasa hadir di langit senja, kini tak terlihat, tertutup oleh awan kelabu. Mendung masih menggantung di angkasa meskipun hujan lebat telah turun sekitar dua jam yang lalu.
Aku terpekur di depan jendela kamar, menatap bunga mawar yang ku tanam beberapa bulan lalu basah oleh hujan. Pagi tadi, bunga itu mekar dengan indah, namun kini layu karena terpaan air hujan. Secepat itu ia berubah, sama cepatnya dengan kehidupan yang tengah ku jalani. Semua tak lagi sama, berbanding terbalik dengan kehidupanku enam tahun lalu.
Enam tahun, waktu yang menurutku begitu cepat. Banyak perubahan yang terjadi dalam diriku. Aku yang dulu hanya seorang gadis berseragam putih abu-abu dengan rambut panjang yang selalu di kuncir kuda, jangan lupakan poni tipis yang setia menutupi dahiku, kini berubah menjadi seorang gadis dewasa dengan rambut sebahu yang sering tergerai indah, terlihat lebih menawan dan menarik. Aku yang dulu selalu berjalan menunduk karena tidak percaya diri, kini menjalani hidup dengan tujuan yang jelas, menatap masa depan dengan berani.
Aku yang dulu polos, tidak tahu apa itu cinta dan takut merasakan patah hati, kini telah menerima pinangan seseorang. Sebuah cincin yang melingkar di jari manisku, mengikatku pada sebuah hubungan yang lebih serius dengan dia. Cincin yang tersemat sejak satu tahun yang lalu, ketika aku wisuda. Hal itu mungkin diidam-idamkan gadis seusiaku, dilamar ketika wisuda. Dan empat bulan lagi, kami akan menikah.
Tanpa sadar, aku tersenyum, memikirkan dia. Tak pernah menyangka hubungan kami akan seserius ini. Bukan hanya aku, orang-orang di sekeliling kami pun tak pernah menyangka dengan hubungan kami yang dulu hanya sebatas teman, kini saling berkomitmen pada status yang lebih serius. Dia yang menyimpan perasaannya dengan rapi sejak lama, akhirnya menyerah karena melihat celah.
“Tidak ada kesempatan kedua jika tidak berani mengambil resiko untuk mencoba kesempatan pertama,” katanya dulu ketika aku bertanya mengapa ia berani mengambil langkah untuk keluar dari zona nyaman yang hanya sebatas pertemanan.
Awalnya aku ragu menerima pinangannya, membuatku tak langsung memberi jawaban. Aku tahu dia uring-uringan karena itu, takut aku menolaknya. Aku berusaha cuek dengan keadaannya yang tengah dilanda resah. Semua terlalu cepat menurutku, mengingat aku baru saja lulus.
Namun malam itu, malam setelah ia melamarku, Ayah mengajakku berbicara. Kata Ayah, mungkin dia cepat-cepat melamarku karena takut aku berpaling darinya, mengingat perubahan diriku yang sangat signifikan, dari seorang gadis yang tidak menarik perhatian, kini menjadi pusat perhatian dimanapun aku berada. Sangat mudah bagiku untuk mencari pemuda yang lebih segalanya di banding dia. Karena itu dia ingin kepastian tentang hubungan kami, dia ingin mengikatku agar tidak berpaling ke lain hati.
Kami menjalani hubungan bukan hanya setahun-dua tahun, namun sudah bertahun-tahun. Seharusnya dia tahu, aku tak mungkin bisa berpaling darinya. Hatiku sudah penuh sesak olehnya, tak ada tempat yang tersisa untuk pria lain.
Dia itu berbeda. Dia memiliki seribu satu cara untuk membuatku tersenyum, bahkan tertawa. Dia bukan tipe orang yang suka mengumbar kata-kata manis, tidak tahu caranya berlaku romantis, justru dia lebih sering melontarkan candaan yang selalu berhasil membuatku tertawa. Katanya, dia lebih suka melihat lesung pipiku yang muncul ketika aku tersenyum ataupun tertawa daripada melihat wajahku merona karena tersipu malu. Itu jawabannya ketika aku bertanya mengapa ia jarang berperilaku romantis layaknya pasangan lain di luar sana. Dan karena jawabannya itu, aku tersipu malu dan malamnya tak bisa tidur karena hatiku yang berbunga-bunga.