Masa putih abu-abu, menjadi pembuka kisah antara aku dan dia. Kami berbeda. Aku yang selalu tenggelam dalam bayang-bayang temanku, dan dia yang selalu terlihat menonjol diantara yang lain. Dia layaknya magnet yang menarik kuat perhatian semua orang dimanapun dia berada, termasuk diriku. Sikapnya yang ramah dan supel membuatnya disenangi banyak orang. Jangan lupakan senyumnya yang selalu terlihat menyenangkan, menular pada bibir siapa saja yang melihatnya. Dia merupakan salah satu orang yang berpengaruh dalam sekolah, sang Pradana.
Aku melihatnya untuk pertama kali saat kegiatan persami, kegiatan tahunan yang diselenggarakan sebagai penutupan Masa Orientasi Siswa. Bagaimana caranya memimpin acara dan bisa menempatkan diri dimanapun ia berada membuatku tertarik. Aku ingin seperti dirinya. Sejak saat itu, aku selalu memperhatikannya, menyimak bagaimana caranya bercengkrama dengan setiap orang. Dan lama-kelamaan, senyumnya menjadi candu untukku.
Aku yang pendiam, berusaha keluar dari zona nyaman dengan bergabung dalam ekstrakulikuler Pramuka. Selain ingin mengembangkan diri, aku ingin bisa melihat senyumnya setiap hari. Aku tak pernah mengerti rasa apa yang tumbuh dalam diriku untuknya, namun aku tak berani mengartikan jika ini cinta. Aku sadar diri untuk tidak menaruh harapan lebih padanya. Dia tak mungkin melirikku. Kami berada dalam kasta yang berbeda dalam pergaulan. Semua yang ada dalam diriku berbanding terbalik dengannya. Aku hanya seorang gadis pendiam, tidak pandai memulai obrolan, lebih sering menunduk karena tidak percaya diri, dan yang pasti, aku tidak semenarik dirinya.
Aku merasa berada di circle yang salah dalam pertemanan. Ada dua orang teman dekatku, namanya Lisa dan Anna. Keduanya merupakan gadis tercantik di kelas, dan aku selalu tenggelam dalam bayang-bayang mereka.
Di awal tahun kedua masa SMA ku, setelah berbulan-bulan berada dalam satu sekolah dengannya, akhirnya sore itu keberuntungan tengah berpihak padaku.
Sore itu, aku berdiri dengan cemas di dekat gerbang sekolah. Hari sudah mulai gelap, jam sudah menunjukkan pukul enam sore. Aku pulang terlambat karena harus menghadiri rapat ekstrakulikuler. Aku sudah bilang pada Ayah jika akan pulang terlambat dan akan mengabarinya jika urusanku sudah selesai. Sudah bekali-kali aku berusaha menelpon Ayah, namun tak juga diangkat. Pesan-pesan yang ku kirim pun tak ada satupun yang di balas. Ingin menaiki angkutan umum, namun uang saku ku sudah habis.
Aku semakin panik ketika teman-temanku satu persatu meninggalkan area sekolah dengan kendaraan pribadinya. Hanya tinggal satu motor yang tersisa di parkiran. Aku tak tahu itu motor siapa. Sebenarnya, aku bisa saja meminta antar pada salah satu temanku, namun aku tak memiliki keberanian untuk itu. Dan sepertinya, kesempatanku hanya tinggal pada pemilik motor yang masih terparkir itu. pilihannya hanya dua, meminta antar padanya, atau menunggu Ayah yang entah kapan datangnya.
Aku menarik nafas panjang, memilih opsi pertama dan mulai mengumpulkan keberanian untuk berbicara pada sang pemilik motor. Tubuhku sudah sangat lelah, ingin cepat-cepat merebahkan diri di kasur.
Keberanian yang sejak tadi ku kumpulkan, kini lenyap bersamaan dengan munculnya seorang pemuda yang berjalan santai menuju satu-satunya motor yang ada di parkiran. Tubuhku langsung lemas melihat dia, sang Pradana, mulai menaiki kendaraan roda dua itu. Aku tak memiliki keberanian untuk meminta tolong padanya. Aku berharap semoga Ayah cepat datang dan menjemputku.
Aku memejamkan mata saat suara motor miliknya mulai terdengar mendekat. Berharap dengan begitu ia tidak menyadari keberadaanku. Namun jelas itu mustahil, posisiku yang berada di depan gerbang sekolah membuatnya melihatku dengan jelas. Kedua mataku kembali terbuka ketika dia menghentikan laju motornya tepat di sampingku. Aku menoleh, menatapnya yang kini membuka kaca helm.
“Kok belum pulang, Nai?” Dia bertanya lembut, menatapku dengan kening berkerut.
“Nunggu jemputan, Kak,” jawabku gugup. Pasalnya, ini kali pertama kami mengobrol diluar bahasan ekstrakulikuler.
“Udah ngabarin orang rumah minta di jemput?”
“Udah,”
“Terus apa katanya?”
“Kata siapa?” tanyaku bingung.
Senyumnya langsung merekah. Ia menunduk, menggelengkan kepalanya dengan pelan, lantas kembali menatapku.
“Kata orang rumah.” jawabnya dengan senyum yang masih terulas.
“Ooh, belum di bales sama Ayah, Kak,” Aku menjawab dengan memalingkan wajah, malu. Bisa-bisanya aku bertingkah bodoh di depannya.
Sial, aku memang menyukai senyumnya, tapi jika dilihat sedekat ini, kakiku terasa begitu lemas. Rasa-rasanya jantungku ingin melompat ke perut karena debarannya yang begitu menggebu.
“Udah di telepon?”