Cerita Tentang Kita

Iin Ardiyanti
Chapter #3

3. Izin

Pagi itu, saat matahari bahkan belum sepenuhnya bersinar di langit pagi, saat kabut tipis belum benar-benar pergi, aku kembali berdebat dengan Ayah. Kekesalanku semalam belum juga hilang, kini ditambah lagi dengan penolakannya ketika ku sodorkan selembar kertas berisi surat izin untuk mengikuti kegiatan perkemahan tahunan. Ayah sama sekali tak mau menandatanganinya, ia tak mengizinkanku mengikuti kegiatan itu.

"Udah nggak usah ikut, bilang sama gurumu atau siapapun itu, Ayah nggak kasih izin." Tegas Ayah ketika aku terus merecokinya untuk menandatangani surat izin itu.

"Nggak bisa gitu dong, Yah. Nai itu jadi seksi acara, jadi harus ikut."

Ayah yang saat itu tengah memotong bawang, langsung meletakkan pisaunya dengan sedikit kasar. Yaps, kami berdebat di dapur. Aku sudah memakai seragam lengkap, sedang Ayah hanya memakai baju rumahan dan tengah memasak sarapan untuk kami.

Tatapan Ayah terlihat begitu kesal. Kami sama-sama keras kepala saat itu, tak ada yang mau mengalah dalam hal perdebatan.

"Kamu lupa sama kejadian tahun lalu?"

Tentu saja aku ingat. Aku ingat tahun lalu aku pulang dari perkemahan dalam keadaan tidak bisa berjalan dan ada perban didahiku. Aku terperosok sampai membuat kaki terkilir dan dahi terluka saat mengikuti kegiatan jurit malam.

Malam itu, Ayah begitu panik ketika aku pulang diantar oleh tim medis sekolah dalam keadaan tidak baik-baik saja. Ayah bahkan melarang ku berangkat sekolah selama seminggu, katanya menunggu kakiku benar-benar sembuh dan aku bisa berjalan dengan normal.

Tapi aku sudah berjanji akan menjaga diriku dengan baik, Ayah tetap tidak percaya. Ia menolak keras untuk menandatangani surat izin itu.

Baru saja akan membuka mulut untuk meyakinkannya, ponsel Ayah berdering. Wajah yang awalnya diliputi kekesalan itu langsung berubah. Senyum tipis tersungging di bibirnya. Ketika kata sayang terucap, aku tahu siapa yang menelpon Ayah sepagi ini.

Dengan rasa muak yang membuncah dalam dada, aku beranjak untuk mengambil tas dan segera pergi menuju sekolah. Ku hiraukan teriakan Ayah yang memintaku kembali untuk sarapan terlebih dahulu. Rasanya, sedikit demi sedikit, rasa takutku menjadi kenyataan. Kasih sayang Ayah sudah terbagi kepada ibu dan anak itu.

***

Teriknya matahari tak memudarkan semangat para anggota OSIS untuk mengerjai siswa baru. Mereka diminta untuk mengumpulkan dua puluh tanda tangan dari anggota OSIS. Ada saja syarat tak masuk agar bersedia memberikan tanda tangan.

Samudera, sang ketua OSIS malah duduk santai di sebelahku, di depan kesekretariatan Pramuka, memantau siswa baru dan anggotanya yang ada di lapangan. Ia sudah memperingatkan mereka agar tidak melakukan tindakan kekerasan atau Perpeloncoan.

Jarak antara lapangan dan kesekretariatan Pramuka yang cukup jauh menyelamatkan Samudera untuk sementara dari kerumunan siswa baru. Jas almamater yang dikenakannya tentu saja akan menarik perhatian mereka.

"Kusut amat muka lo kayak keberatan beban hidup." Suara Samudera memecah keheningan diantara kami. Aku langsung menegakkan tubuh lantas menatapnya.

"Aku?" Tunjukku pada diri sendiri.

"Iyalah, siapa lagi? Ada masalah apa?"

Aku langsung cemberut, menyerahkan lipatan kertas yang sejak tadi ku pegang pada Samudera.

Wajah pemuda itu nampak serius ketika membuka dan membaca tulisan yang ada di kertas itu. Kedua alisnya bertaut, ia menatapku dengan bingung.

"Ini kan surat izin untuk ikut perkemahan besok?"

Aku mengangguk, "Ayah nggak mau tanda tangan."

"Om Dimas nggak kasih izin?"

Aku mengangguk lagi, lantas menjelaskan semuanya pada Samudera, tentang kekhawatiran Ayah, juga tentang perdebatan kami tadi pagi.

Samudera menyimaknya dengan serius, sesekali dia mengangguk, paham dengan ceritaku. Jeda sejenak setelah aku menyelesaikan cerita, pemuda itu baru membuka mulut untuk bersuara.

"Gue paham sih, Om Dimas sayang banget sama lo. Dia khawatir, secara lo anak tunggal. Kalo kenapa-napa atau lebih parahnya ilang, dia udah nggak punya siapa-siapa lagi."

"Tapi kan aku udah janji bakal jaga diri."

"Lah omongan lo mana bisa di percaya. Kecil gitu mana bisa jaga diri sendiri."

Sialan memang si Samudera. Lengannya berakhir menjadi sasaran kekesalanku. Namun bukannya kesakitan, pemuda itu justru terkekeh sembari berusaha menghindari pukulanku. Benar-benar menyebalkan.

"Hari ini terakhir ngumpul surat izinkan? Sini gue aja yang tanda tangan."

Ucapannya menghentikan gerakanku memukul lengannya. Setitik harapan muncul. Setidaknya aku bisa mengumpul surat izin sekarang. Masalah bagaimana caranya esok aku pergi atau tentang omelan Ayah, itu bisa dipikir nanti. Lagipula, Ayah tak akan memarahiku didepan teman-temanku.

"Kak Sam bisa tiruin tanda tangan Ayah?"

"Bisa dong," Ucapnya percaya diri. Lantas ia menoleh dengan wajah tengilnya, "Tapi ogah bantu lo, bisa-bisa gue digorok sama Om Dimas."

Aku mendesis kesal. Seharusnya dari awal tak perlu meladeni bualan Samudera. Sejak dulu pemuda itu tak pernah berubah, begitu menyebalkan, senang sekali membuatku kesal. Bahkan semakin dewasa, tingkat menyebalkannya semakin bertambah.

Ponsel dalam saku kemejaku bergetar. Aku mengambilnya, melihat ada satu pesan dari Ayah.

Ayah :

Ayah bakal tanda tangan surat izin itu, asal nanti malam kamu ikut Ayah makan malam bareng Tania dan Ibunya. Kalo kamu setuju nanti pulang sekolah Ayah jemput, kita cari kado buat Tania. Hari ini dia ulang tahun.

Aku meremas ponselku dengan kesal. Kaca-kaca bening langsung terbentuk dikedua mataku. Kenapa syaratnya harus berhubungan dengan mereka? Apakah tak ada syarat lain?

Aku muak. Apakah Ayah tak mengerti bahwa puterinya benar-benar tak nyaman dalam situasi seperti ini? Apakah ia tak tahu puterinya begitu menyayanginya sampai takut kehilangan? Kenapa ia tak pernah bisa memahami perasaanku? Ayah benar-benar egois.

Beruntungnya, ada beberapa siswa baru yang datang menghampiri kami, lebih tepatnya menghampiri Samudera. Setidaknya kehadiran mereka bisa membuatku melupakan masalah sejenak.

Lihat selengkapnya