Aku dua bersaudara. Kami semua laki-laki. Aku anak sulung, dibesarkan oleh ibu yang menjadi single parent sejak aku masih duduk di bangku sekolah dasar. Ayah pergi setelah perceraian yang tidak pernah benar-benar aku pahami. Yang tersisa hanya rumah kecil dan seorang ibu yang keras demi menyambung hidup. Kehangatan tidak banyak kutemui, tapi tuntutan sebagai laki-laki terus menempel di pundakku.
Aku tumbuh seperti anak laki-laki lainnya di mata orang luar. Tegap, lumayan tampan, cukup pintar, dan punya banyak teman perempuan. Banyak dari mereka menyukainya. Beberapa bahkan terang-terangan menyatakan cinta. Dan saat waktu berlalu, aku pun menikah. Pernikahan itu berlangsung selama sebelas tahun. Orang bilang itu waktu yang lama. Tapi hanya aku yang tahu seberapa beratnya menyimpan rahasia di balik senyuman seorang suami.
Selama sebelas tahun pernikahan itu, aku menjalankan peran sebagai suami. Tapi ada satu sisi dalam diriku yang tak pernah benar-benar bisa aku matikan. Sisi itu diam-diam tumbuh sejak kecil — saat aku mulai tertarik mengenakan pakaian perempuan. Saat merasa nyaman menyentuh bahan satin, renda, dan kain yang mengalir di kulit. Aku tidak bisa menjelaskannya saat itu, hanya tahu bahwa mengenakan pakaian perempuan memberiku rasa damai. Rasa bebas.
Dan ketika dewasa, perasaan itu tidak hilang. Bahkan saat aku telah menikah, diam-diam aku menyimpan koleksi BH, CD, daster, dan gaun perempuan. Setiap malam saat istri tertidur, atau ketika aku sendiri di kamar mandi, aku mengenakan semuanya dalam diam. Aku bercermin. Aku meraba tubuhku sendiri. Dan aku merasa menjadi diriku sendiri.