Perceraian itu terasa seperti napas yang akhirnya bisa dilepaskan setelah lama ditahan. Tapi di balik kelegaannya, ada kehampaan yang diam-diam menyelinap ke dalam dada. Enam tahun pernikahan seakan hanya membuktikan satu hal: aku tidak bisa menjadi suami seperti yang diharapkan.
Di luar sana, orang mengenalku sebagai laki-laki yang tampak sempurna. Disukai banyak perempuan, punya pekerjaan tetap, senyum yang katanya menenangkan, dan sikap yang dianggap dewasa. Tapi tak satu pun dari itu bisa menenangkan diriku sendiri. Karena setiap malam, ketika lampu-lampu padam dan dunia tertidur, aku berdiri di depan cermin kamar dengan daster sabrina berenda mengusap bahu, bibirku yang dipoles merah muda, dan dada kosong yang kusisipkan tisu hanya demi sedikit ilusi.
Aku menatap pantulan itu... dan jiwaku menangis.
Karena yang kulihat bukanlah sosok laki-laki yang dilihat dunia. Yang kulihat adalah seseorang yang selama ini hidup dalam bayang-bayang: perempuan yang hanya berani bernapas dalam senyap malam, saat tidak ada mata yang menghakimi. Perempuan itu adalah bagian dari diriku. Sisi yang kututupi bertahun-tahun. Sisi yang hanya berani hidup ketika semua tirai sudah tertutup rapat.
Setelah perceraianku, aku menyewa sebuah kos kecil di pinggir kota. Di sana, aku mulai merasa sedikit lebih leluasa. Tak perlu lagi menyembunyikan BH di balik tumpukan baju pria. Tak perlu lagi mencuci celana dalam perempuan sembunyi-sembunyi dan menjemurnya diam-diam. Tapi tetap saja, aku tidak bisa keluar rumah memakai pakaian yang kusukai. Dunia belum siap. Atau mungkin... aku yang belum siap.
Aku mulai lebih sering online, membuka Facebook dengan akun kedua. Di sana aku menjadi diriku yang lain-lebih jujur. Aku mengunggah foto saat memakai daster hijau pastel, wig sebahu, sedikit filter untuk menghaluskan kulit. Di balik akun itu, aku merasa sedikit aman.
Laki-laki mulai mengirim pesan. Sebagian kasar, sebagian sopan. Tapi ada beberapa yang membuat dadaku bergetar. Mereka bilang aku cantik. Mereka bilang suka perempuan seperti aku. Mereka ingin mengenal, ingin bertemu.
Awalnya aku takut. Tapi kesepian ternyata jauh lebih menakutkan.