Dunia melihatku sebagai seorang pria biasa. Aku punya wajah yang lumayan tampan, cukup menarik untuk membuat beberapa perempuan menoleh dua kali. Tapi di balik itu, penampilanku tidak maskulin. Tubuhku tidak berotot, suaraku tidak berat. Aku berjalan biasa, tidak menyuarakan maskulinitas berlebihan. Tapi wajahku-ya, itu yang selalu menjadi pembuka percakapan.
Sejak bercerai, aku menjalani hidup seperti bayangan. Di siang hari aku bekerja di kantor, menjalankan rutinitas yang sama setiap pagi: bangun, mandi, memakai kemeja rapi, celana bahan, dan sepatu kerja. Rambutku ditata seperlunya, tidak mencolok, tapi cukup bersih untuk meninggalkan kesan profesional. Aku tidak pernah memakai make-up di luar rumah, tentu saja. Dunia belum siap melihat versi diriku yang lain. Jadi aku menyimpannya, merapatkan topengku, dan berjalan menyusuri lorong kantor seperti orang normal lainnya.
Tapi kantor bukan tempat biasa bagiku. Di sanalah banyak hal yang membuatku sadar betapa dunia ini mengira aku "sempurna." Teman-teman kerjaku, terutama para perempuan, selalu ramah. Sejak mereka tahu bahwa aku sudah bercerai, entah kenapa, sebagian dari mereka jadi lebih dekat. Ada yang menawarkan makan siang bersama. Ada yang selalu membawakan cemilan, atau kopi hangat di pagi hari. Bahkan beberapa berani menanyakan, "Kapan kamu siap membuka hati lagi?"
Setiap kali mereka berkata begitu, aku tersenyum, menunduk, dan mengalihkan pembicaraan. Aku tidak tahu bagaimana harus menjelaskan bahwa hati ini tidak tertutup, tapi memang tidak pernah bisa benar-benar terbuka untuk perempuan. Aku menyukai kehangatan mereka, senyum mereka, perhatian mereka. Tapi itu saja. Tidak lebih. Tidak seperti yang mereka harapkan.
Suatu hari saat jam makan siang, aku duduk di kantin bersama dua rekan kerja perempuan. Mereka bercanda, tertawa, dan sesekali melempar godaan padaku. Salah satu dari mereka berkata, "Kamu ini cocok jadi pasangan ideal. Ganteng, rapi, pendiam, mapan. Cuma satu, belum ada yang punya."
Yang satu lagi menimpali, "Atau jangan-jangan, kamu punya simpanan ya? Tapi kami nggak boleh tahu?"
Aku tertawa pelan, mencoba menutupi keresahan yang muncul. Aku ingin menjawab, "Iya, aku punya simpanan-diriku sendiri, yang tak bisa kalian kenali," tapi tentu saja itu hanya ada di dalam pikiranku. Aku hanya menggeleng dan bilang, "Belum waktunya."
Malam harinya, aku pulang dengan kepala penuh pikiran. Aku masuk ke kamar, mengunci pintu, dan membuka lemari kecil di sudut ruangan. Di sana, tersusun rapi koleksi dasterku: sabrina, tali bahu, kerut dada. Di bawahnya, BH renda, G-string warna pastel, dan parfum lembut yang aromanya seperti melati yang baru mekar. Aku memilih satu set pakaian malam favoritku, berdandan perlahan di depan cermin.
Saat kain lembut itu menyentuh kulitku, aku kembali menjadi diriku sendiri. Aku tidak sedang berakting. Aku tidak sedang menyenangkan siapa pun. Di depan cermin itu, aku jujur. Dan kejujuran itu begitu menyakitkan karena hanya bisa kurasakan di balik pintu terkunci.