Aku tidak pernah mengira bahwa titik paling gelap dalam hidupku akan datang dari ruang yang dulu selalu membuatku merasa paling hidup. Dunia malam, dunia penuh bayangan tempat aku bisa menjadi diriku sendiri tanpa topeng, ternyata juga bisa menjadi tempat aku hancur berkeping-keping.
Malam itu aku seperti biasanya, membuka aplikasi hijau. Seorang pria paruh baya menghubungiku, sopan dan tenang. Katanya dia mencari teman yang bisa membuatnya nyaman. Nada bicaranya lembut, tak tergesa, berbeda dari kebanyakan pria yang hanya mengejar fantasi. Ia menawarkan pertemuan di sebuah hotel. Lokasinya tidak jauh dari rumah. Aku mempertimbangkan sejenak, lalu setuju.
Aku keluar kosan dengan pakaian laki-laki. Jeans, kaos gelap, jaket polos. Di punggungku, tas ransel berisi perlengkapan yang selalu kupersiapkan: daster sabrina, BH renda, G-string, make-up kecil, dan parfum lembut. Sesuatu yang sudah biasa kulakukan. Seolah aku hanya aktor yang akan segera naik ke panggung pertunjukan.
Sesampainya di hotel, ia menyambutku dengan senyum tipis. Wajahnya biasa, tubuhnya pun tidak mengintimidasi. Aku masuk ke kamar hotel itu, meletakkan tas di tempat tidur. Ia hanya berkata dengan lembut, “Silakan berdandan, aku beli cemilan sebentar.”
Aku tidak berpikir macam-macam. Aku mengangguk, membuka tas, dan mulai berdandan. Proses ini selalu menjadi momen paling sakral untukku. Saat satu per satu lapisan diriku berganti. Ketika daster sabrina melekat di kulitku, saat bibirku berubah merah muda, saat bayangan maskulinku perlahan hilang.
Tapi malam itu berbeda.
Ketika pintu kamar terbuka lagi, aku bukan hanya melihat satu orang. Tapi enam pria asing masuk bersama lelaki yang tadi menjanjikan “kenyamanan.” Tak ada senyum, tak ada kata maaf. Hanya tatapan kosong dan dingin yang membuat darahku beku.
Aku sempat berteriak. Tapi mereka membungkamku. Segala daya upayaku tak berarti. Pakaianku disita. Aku tak bisa ke mana-mana. Aku… tak bisa melawan.
Malam itu berubah menjadi neraka yang tak pernah kubayangkan.
Tiga hari. Dalam gelap. Dalam sepi. Dalam ketakutan dan rasa malu yang luar biasa. Mereka memperlakukan tubuhku seperti barang. Tak satu pun memberi ruang untuk aku berkata cukup. Tak satu pun bertanya apa aku baik-baik saja. Dan saat semua selesai, tak ada satu sen pun mereka berikan. Tak ada penyesalan. Tak ada tanggung jawab. Mereka hanya pergi—membawa serta martabatku.