Setelah semua yang terjadi, aku merasa hidupku takkan pernah sama. Namun dunia terus bergerak, dan kadang tak peduli apakah kita sudah sembuh atau masih terseok-seok. Suatu pagi di kantor, atasan memanggilku. Dengan ekspresi serius, dia menyampaikan bahwa aku akan dipindahkan ke cabang kantor di kota lain.
“Ini kesempatan bagus untuk penyegaran,” katanya sambil tersenyum. “Kamu akan punya tim baru, lingkungan baru. Anggap saja ini awal yang baru.”
Aku hanya mengangguk. Dalam hati, aku merasa bimbang. Kota baru berarti semua harus dimulai lagi dari nol. Tapi mungkin juga itu kesempatan yang selama ini tanpa sadar aku butuhkan. Kesempatan untuk melepaskan masa lalu, meski bayangannya masih mengikuti ke mana pun aku pergi.
Malam sebelum keberangkatan, aku duduk lama di kamar. Aku buka lemari, mengelus daster-daster yang menggantung rapi. Aku tahu aku tak bisa membawa semuanya. Aku harus menyembunyikan sebagian besar dari mereka—seperti biasa. Aku hanya membawa beberapa yang paling sering kupakai: satu daster sabrina, satu tali bahu, dua BH renda, dan dua G-string. Semua kuselipkan hati-hati di antara tumpukan baju kerja dan celana panjang.
Di dalam pesawat menuju kota itu, aku duduk sendiri. Menatap jendela kecil di sampingku, melihat awan bergumpal-gumpal, dan berpikir, “Apakah di kota ini aku bisa lebih bebas menjadi diriku?” Tapi aku juga sadar, selama aku masih harus menyembunyikan sebagian dari diriku, kebebasan itu belum benar-benar nyata.