Hubungan kami berlanjut seperti dua teman yang nyaman satu sama lain. Beberapa kali dia mengajakku nongkrong di kafe, hanya berdua. Kami duduk di sudut ruangan, menyeduh kopi perlahan, dan membiarkan waktu berjalan tanpa tergesa. Tentu saja, di luar aku tetap mengenakan pakaian pria. Tak ada yang berubah dari penampilanku, tak ada yang mencurigakan. Aku tahu batasanku, dan aku tak ingin mengambil risiko.
Tapi setiap kali kami bersama, aku merasa dihargai. Dia memperhatikanku, mendengarkan, dan yang terpenting: dia tidak membuatku merasa harus menyembunyikan apa-apa. Meski tak banyak kata, sikapnya cukup membuatku merasa aman. Kami sering tertawa karena hal-hal sederhana—obrolan ringan, gurauan tak penting, atau komentar-komentar kecil tentang orang-orang di sekitar. Entah sejak kapan, kami mulai terbiasa saling mengirim pesan setiap pagi dan malam. Seperti ada ruang yang tumbuh, perlahan tapi nyata, antara kami.
Hingga pada suatu sore, saat kami duduk di teras belakang kafe langganan, angin berhembus pelan dan matahari mulai turun, dia berkata pelan, "Aku suka kamu. Bukan cuma sebagai teman. Tapi lebih dari itu. Aku ingin kamu jadi pacarku."
Aku terdiam. Lidahku kelu. Rasanya seperti dunia mendadak hening. Aku menatap wajahnya, mencari keraguan. Tapi tak ada. Ia serius. Matanya tajam namun lembut. Tidak mendesak, hanya menyampaikan sesuatu yang sudah lama tertahan.
“Kenapa aku?” tanyaku pelan.
Dia tersenyum. “Karena kamu berbeda. Karena kamu jujur. Dan karena kamu membuatku merasa tenang.”
Butuh beberapa hari untukku benar-benar menjawab. Tapi dalam hati, aku tahu jawabannya sudah ada sejak lama. Aku hanya butuh keberanian untuk mengakuinya. Dan akhirnya aku berkata, "Aku mau. Tapi aku nggak tahu kamu sanggup menerima semua sisi dari aku."