Semakin lama kami bersama, aku mulai menyadari ada sisi lain dari dirinya yang perlahan muncul. Awalnya semuanya terasa manis dan penuh perhatian. Ia begitu hangat, protektif, dan sabar. Tapi seiring waktu, sikap manis itu mulai berubah menjadi sesuatu yang lain. Sesuatu yang mencengkeram. Ia mulai menjadi lebih posesif.
Setiap kali kami keluar bersama, ke kafe atau sekadar makan di luar, ia selalu menggenggam tanganku di depan umum. Bahkan saat aku masih mengenakan pakaian pria, seperti perjanjian kami sebelumnya. "Biar orang tahu kamu milikku," katanya sambil tertawa kecil. Tapi aku tidak tertawa. Aku merasa risih. Tatapan orang-orang, bisik-bisik yang terdengar samar, semua itu menambah beban di dadaku. Aku sudah cukup lelah menyembunyikan siapa aku di dunia luar, dan sekarang aku juga harus menghadapi kenyataan bahwa dia menginginkan lebih. Lebih dari sekadar kebersamaan—dia ingin kepemilikan.
Awalnya aku mencoba memahami. Mungkin dia terlalu sayang. Mungkin dia hanya ingin menunjukkan bahwa hubungan ini nyata. Tapi semakin lama, semakin sering aku merasa seperti dipaksa menjadi seseorang yang bukan aku. Ia mulai menekanku untuk tampil berani. "Kenapa nggak sekalian aja jadi waria full? Kamu kan udah separuh jalan. Lagian kamu cocok kok," katanya suatu malam sambil memegang daguku.
Aku hanya tersenyum pahit. Dalam hatiku aku menangis. Aku tidak pernah berniat hidup penuh sebagai perempuan. Aku tidak siap menghadapi stigma masyarakat. Aku tidak ingin kehilangan pekerjaanku. Aku tidak ingin mempermalukan keluargaku. Tapi ia seolah tak peduli.
“Berhenti kerja. Di rumah aja. Aku bisa biayai kamu,” katanya lagi sambil memelukku dari belakang.
Aku menolaknya dengan halus. Tapi sejak itu, suasana rumah menjadi berbeda. Di tempat tidur, permainan kami pun mulai berubah. Ia mulai mengikat pergelangan tanganku. Kadang kasar. Kadang membisikkan fantasi yang membuatku ngeri. "Kamu milikku. Milikku sepenuhnya," katanya sambil mengikatku ke ranjang dengan selendang. Kadang aku berusaha tertawa, mencoba anggap itu lelucon. Tapi kadang aku hanya diam, menahan napas, menahan takut.