Puncaknya datang lebih cepat dari yang kupikirkan. Ia bukan lagi pasangan yang kucintai, melainkan seseorang yang begitu terobsesi untuk mengubahku sepenuhnya. Bukan hanya dalam hal penampilan, tapi dalam identitas dan hidupku secara menyeluruh. Ia ingin aku menjadi perempuan utuh, sepenuhnya, tanpa sisa laki-laki sedikit pun.
Pernah sekali, ia memukulku. Itu terjadi di rumah, saat ia mengajakku menonton film di bioskop. Tapi syaratnya, aku harus mengenakan pakaian perempuan—dress selutut, wig panjang, make-up lengkap, dan sepatu hak rendah. Aku menolak dengan lembut, berkata bahwa aku belum siap tampil seperti itu di ruang publik. Tapi penolakanku membuatnya meledak.
"Kamu itu perempuan! Sudahlah, jangan menipu diri sendiri!" teriaknya dengan mata merah. Ia mendekat, lalu tanpa peringatan menampar pipiku keras. Tubuhku limbung, tapi aku tetap berdiri. Kami bertengkar malam itu. Suaranya tinggi, kata-katanya tajam seperti pecahan kaca.
"Kamu lebih pantas jadi perempuan daripada laki-laki! Terima saja takdirmu! Berhenti kerja! Fokus jadi pasanganku!"
Aku hanya bisa menatapnya kosong. Di dalam hatiku, pecahan harga diri berjatuhan satu per satu. Ia tidak hanya ingin aku mencintainya, tapi juga menyerahkan seluruh hidupku tanpa sisa. Malam itu, aku menangis sendirian di kamar, tubuhku gemetar menahan emosi dan rasa sakit.
Hari-hari berikutnya, ia makin gila kendali. Ia menyita pakaian prianya. Ia menyembunyikan kemeja kantorku. Ia menahan motorku agar aku tidak pergi. Bahkan, ia sengaja menonaktifkan internet rumah agar aku tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun. Aku merasa terkurung. Dipenjara oleh orang yang seharusnya mencintaiku.
Aku mulai menyusun rencana pelarian. Diam-diam, tanpa suara. Aku tahu jika aku ingin bertahan hidup—secara harfiah maupun batin—aku harus pergi.