Cerita Tentangku ( Kisah Hidup Penulis )

Zizan
Chapter #11

Catatan Akhir Penulis

Aku menulis ini dengan tangan gemetar. Dengan dada yang penuh sesak oleh kenangan yang selama ini kusembunyikan. Ini bukan fiksi. Bukan dongeng yang ditulis untuk menghibur. Ini adalah kisah nyata—kisah hidupku. Sepenuh-penuhnya nyata. Setiap kalimat yang kau baca lahir dari luka dan pengalaman yang kutelan sendiri dalam diam selama bertahun-tahun.


Mungkin sebagian orang akan langsung menghakimi. Menyebutku tak tahu malu. Menertawaiku. Mencibir bahwa aku adalah “laki-laki tak tahu arah”. Tapi biarlah. Hari ini aku memilih untuk tidak lagi bersembunyi. Tidak lagi berpura-pura kuat. Tidak lagi menjadi laki-laki sempurna yang hanya ada di kepala orang lain. Hari ini, aku ingin menjadi aku.


Sejak kecil, aku tahu ada yang berbeda. Aku bukan anak laki-laki yang suka bermain sepak bola atau tertawa keras-keras sambil berteriak di lapangan. Aku lebih suka berdiri di balik pintu, memerhatikan kain daster ibu yang mengayun lembut saat ia berjalan. Aku suka diam-diam menyentuhnya. Bukan karena aku ingin jadi lucu-lucuan. Tapi karena kain itu… entah mengapa… membuatku merasa tenang. Merasa menjadi diriku sendiri.


Aku dibesarkan di lingkungan yang tidak memberi ruang bagi perbedaan. Di tempatku tumbuh, laki-laki hanya boleh satu rupa: tegas, kuat, jantan, dan pemberani. Jika tidak, maka siap-siap dicemooh. Dipukul. Disingkirkan. Maka aku belajar pura-pura. Pura-pura suka hal-hal yang disukai anak laki-laki lainnya. Pura-pura keras saat hatiku rapuh. Pura-pura tertawa saat dalam hati aku menangis.


Saat remaja, tubuhku mulai mengenal hasrat. Tapi hasratku berbeda. Saat teman-temanku membicarakan tubuh perempuan, aku justru diam-diam menatap lelaki yang bertubuh gagah dan berwajah tegas. Aku merasa bersalah. Setiap malam aku berdoa agar Tuhan mencabut rasa itu. Tapi rasa itu tak pernah pergi. Ia menetap. Ia tumbuh diam-diam, seperti bunga liar yang enggan mati meski diinjak-injak.


Aku tetap menjalani hidup sebagaimana mestinya. Aku kuliah, bekerja, bahkan menikah. Ya, aku pernah menjadi suami bagi seorang perempuan yang baik. Kami menjalani rumah tangga selama sebelas tahun. Tapi aku tidak bisa menjadi laki-laki utuh baginya. Aku tidak bisa memenuhi kebutuhannya sebagai istri. Dalam setiap pelukan, aku merasa sedang memerankan peran yang bukan aku. Aku mencoba. Berkali-kali. Tapi pada akhirnya, pernikahan kami karam di tengah gelombang kebohongan yang tak bisa lagi kutahan.


Saat itulah hidupku mulai berubah. Aku mulai memberanikan diri untuk mengenal siapa diriku sebenarnya. Diam-diam aku membuat akun Facebook palsu, dengan nama yang mewakili sisi diriku yang selama ini terkubur. Aku mengenal banyak pria. Sebagian baik. Sebagian hanya datang untuk memuaskan nafsu. Aku tidak menuntut cinta. Karena aku pun tidak yakin aku layak dicintai. Aku hanya ingin diterima. Hanya ingin, meski sesaat, merasa menjadi perempuan—peran yang selalu kusimpan dalam sunyi.


Aku menyukai sensasi itu. Sensasi mengenakan dress, BH berenda, dan celana dalam perempuan. Aku suka saat diriku dipanggil dengan nama yang lembut. Aku suka saat pria memelukku dari belakang dan membisikkan kata-kata manis seolah aku kekasihnya. Tapi dunia tidak pernah memberi ruang untuk itu. Maka semua kulakukan dalam diam. Dalam gelap. Dalam ruang kamar yang pintunya terkunci rapat.


Dari banyak pria yang pernah datang dan pergi, satu di antaranya pernah memberiku harapan semu. Ia begitu dominan, penuh kontrol, dan awalnya membuatku merasa dilindungi. Tapi perlahan, cinta itu berubah menjadi penjara. Ia memaksaku menjadi waria seutuhnya. Menyuruhku berhenti bekerja. Mengunci pakaian prialah. Bahkan pernah memukulku saat aku menolak memakai dress ke luar rumah. Ia berkata, “Kamu itu perempuan! Terima saja takdirmu!”


Hatiku hancur. Aku menyayanginya, tapi aku tidak ingin kehilangan diriku sendiri. Aku tidak siap kehilangan pekerjaan. Tidak sanggup mempermalukan keluarga. Tidak berani menghadapi dunia yang penuh stigma. Maka aku mengambil langkah besar: kabur.


Lihat selengkapnya