CERMIN RETAK

Astri Rahmah Aulia
Chapter #1

Seperti Batu yang Tidak Pernah Membenci Ombak

Tidak ada yang lebih tabah dari batu yang selalu rela dan ikhlas diterjang oleh ombak di pesisir pantai. Tidak ada yang lebih ikhlas dari rerumputan yang acap kali dipangkas habis, lalu selalu bisa tumbuh kembali. Tidak ada yang lebih peka dari awan megamendung yang selalu menjadi latar bagi orang-orang yang bersedih. Nyatanya, tidak ada seorang Ibu yang rela menghiraukan anaknya demi anak lainnya. Tapi, ini nyata, karena aku mengalaminya. Adik laki-lakiku telah lahir; kami resmi menjadi saudara di hari Rabu yang cerah itu. Sejak pertama kali adik lahir, Ibu tetap melakukan aktivitas seperti biasanya. Ia sibuk dengan pekerjaannya sebagai seorang desainer baju. Adikku sesekali dirawat oleh Ibu dan sesekali juga dirawat oleh pengasuh bayi.

Aku saat itu masih berusia 14 tahun dan masih duduk di bangku SMP. Usia aku dan adikku terpaut jauh. Tapi, saat itu, sebenarnya aku masih nyaman menjadi anak bungsu. Mungkin kala itu aku masih terlalu bersikap seperti anak-anak dan masih diselimuti dengan keegoisanku.Aku tidak begitu dekat dengan adikku, hingga waktu berjalan begitu cepat. Aku pertama kali merasakan duduk di bangku SMA, sedangkan adikku masih berada di bangku SD. Hari itu, aku ingat adikku diantar oleh Pak Damar, sementara aku harus jalan kaki untuk bisa sampai sekolah. Ibu bilang, kali ini aku harus selalu membiasakan diri untuk mengalah dengan adik. Aku yang kala itu sudah terbiasa dengan perlakuan tersebut dan sudah memaklumi hal itu lantas memilih untuk bersikap biasa-biasa saja. Hari demi hari aku lalui dengan bersikap biasa-biasa saja, hingga tiba hari di mana aku bertengkar hebat dengan adikku.

Aku ingat saat itu Ibu membandingkan aku dengan adik, dan sampai sekarang aku masih mengingat jelas kejadian itu."Adik, jangan semua barang kakak kamu buat jadi mainan. Ini kertas ujian kakak, dan kamu buat robek?" ucap Cia dengan nada kesal. Seketika tangisan adik pecah, dan tangisan itu berhasil bergema di satu ruangan. Ibu yang baru pulang dari kantor kemudian bergegas menghampiri kami.Kau tahu? Saat itu sudah menjadi hal lumrah kalau Ibu berpihak dengan adikku. Alasannya, adik masih kecil dan tidak bisa dimarahi. Tapi, jujur aku sedikit kesal karena saat itu adik yang salah. Hal-hal sepele seperti ini kerap terjadi, tapi alhamdulillah aku berhasil menganggap hal ini sebagai bagian dari proses pendewasaan.

Hingga saat aku kuliah pun, dan adikku sudah cukup tergolong remaja, hal-hal seperti kemarin juga sering terjadi. Lelah? Tentu aku lelah, disalahkan selalu atas apa yang bukan jelas-jelas salahku. Tapi, karena aku mencoba untuk tetap menjadi pribadi yang sabar, aku berusaha semaksimal mungkin untuk bersikap tenang. Aku hanya menganggap rumah sebagai tempat aku tidur dan beristirahat; selebihnya aku banyak menghabiskan waktu di kampus, tentu bersama teman-temanku.

Lihat selengkapnya