Saat itu adalah jam istirahat, kelasku berada di lantai dua yang sangat dekat dengan tangga. Sekolahku hanya memiliki dua lantai, namun cukup luas dengan lapangan besar, lahan parkir dan Masjid yang baru akan dibangun. Biasanya aku berdiri di koridor kelas melihat ke arah lapangan dengan minuman yang kubeli sesaat setelah bel istirahat berbunyi. Mataku selalu tertuju pada orang-orang yang berlalu lalang di bawah. Hal ini adalah sebuah kebiasaan sejak kecil. Entah mengapa aku senang memperhatikan orang-orang yang tertangkap pandanganku. Banyak dari mereka sedang tertawa bersama teman di sampingnya, berbincang riang, dan ada pula yang terlihat sedih. Pemandangan ini takakan selalu sama. Pada hari-hari lain mereka yang tertawa akan terlihat murung dan begitu pula sebaliknya. Kusedot es teh manisku yang mulai terasa hambar dan kembali mengawasi sekitarku.
“Pasti lagi galau ya lo, Yu? Galau mulu kerjaannya nih anak.” Tiba-tiba Nevan telah berdiri di sampingku.
Nevan Pratama Ibrahim, teman terdekatku di sekolah ini dan kebetulan kami juga teman sekelas. Awal pertemuan kami agak awkward. Pada hari pengumuman pembagian kelas yang sangat ribut, Nevan telah salah menarik tasku yang ia kira adalah temannya. Padahal saat itu dengan susah payah aku menerobos sekumpulan siswa yang berebut mencari nama mereka di mading, namun dengan mudahnya ia menarikku ke belakang. Saat itu raut wajahnya lucu sebenarnya, namun tetap saja aku agak kesal. Saat kami bertemu kembali di kelas yang sama, ia menyapaku dan meminta maaf atas kesalahannya menarik orang lain. Orang yang semestinya ia tarik adalah teman satu gugusnya saat orientasi yang sekarang berada di kelas berbeda. Sejak saat itu kami jadi sering mengobrol dan mulai berteman.
“Siapa yang galau sih? Gue kan cuma lagi diem aja, bukan berarti gue galau kan? Yeeuu.”
“Abis muka lo keliatan sedih gitu. Tapi anehnya ya, keliatan sedihnya tiap hari. Pasti lagi galau kan? Ngaku aja!”
“Terserah deh. Ini tuh emang udah begini dari sananya.” Aku menunjuk wajahku sendiri. Nevan tertawa kecil. Aku tahu ia melihatku lucu. Lucu dengan artian sesungguhnya. Bukan menggemaskan.
Sesaat sebelum bel masuk berbunyi, Hugo dan Tony menghampiriku dengan bersemangat. Dapat dikatakan bahwa mereka bertiga ini adalah temanku yang paling dekat saat ini. Aku telah menceritakan bagaimana aku bertemu dan mulai berteman dengan Nevan. Hugo adalah teman segugusku saat masa orientasi tapi dengan Tony, aku tak begitu ingat bagaimana persisnya. Yang jelas, dengan cepat dan tiba-tiba kami jadi sering mengobrol dan menghabiskan waktu bersama berempat.
“Yu, mau tau gak?” tanya Hugo bersemangat. Aku tahu ia menungguku mengatakan ‘Apa’ namun aku tidak mengatakan apa-apa dan membuatnya kembali bertanya dengan bersemangat. “Ih, mau tau gak, Yu? Jawab ‘apa’ kek gitu!”
Aku tertawa kecil. “Iya … iya … apa? Ada apa? Kenapa?”
“Gue satu kelompok sama Rama anak Sepuluh Dua buat pelantikan ekskul.”
Aku terkejut dan dengan cepat langsung bersemangat. “Hah? Beneran? Lo satu ekskul sama Rama? Lo ikut ekskul apa deh ngomong-ngomong?”
Hugo mengangguk. “Basket, dia juga ikut basket ternyata. Mau gue mintain gak nomornya?”
“Iya mau! Mintain ya, Go … please .…” Hugo mengacungkan kedua ibu jarinya. Alasan kami berdua sangat bersemangat adalah sebenarnya Rama itu crush-ku dan hanya Hugo yang tahu bahwa aku menyukai Rama sejak masa orientasi. Namun karena percakapan kami yang terlalu heboh pada akhirnya Nevan dan Tony jadi tahu juga.
“Van, mau gue mintain nomornya Sasha gak? Gue satu ekskul nih sama dia,” goda Tony meniru gaya bicara Hugo. Kami semua tertawa. Entah mengapa hari itu mood-ku menjadi baik sekali.