Hasil ulangan Matematika kami telah keluar. Untungnya aku berhasil melewati KKM walaupun hanya sedikit, setidaknya aku tidak perlu ikut remedial. Aku benar-benar telah mengeluarkan seluruh kemampuanku saat itu, dan itu adalah hasil terbaik yang bisa aku dapatkan.
Saat jam makan siang, aku segera pergi ke musala sementara–karena masjid kami sedang dibangun–untuk salat zuhur. Letak musala laki-laki dan perempuan dipisahkan dengan sebuah dipan. Musala itu memiliki dua pintu sejajar. Pintu pertama untuk laki-laki dan yang kedua untuk perempuan. Untuk masuk ke pintu yang ke dua aku harus melewati pintu yang pertama dan aku dapat melihat tempat berwudu dan rak sepatu untuk laki-laki.
Di sana aku melihat sepatu milik Rama yang artinya dia sedang salat zuhur juga. Aku hapal sekali model sepatu Rama dan beruntung di sekolah ini hanya dia yang memakai merek dan model itu. Saat itu aku berharap bisa berpapasan dengannya setelah aku selesai. Semoga ia tidak pergi duluan.
Beruntungnya, saat keluar dari musala aku melihat Rama sedang memakai sepatunya. Buru-buru kupakai sepatuku dan dengan menutupi keburu-buruanku, aku berjalan melewatinya. Saat itu ia berdiri setelah selesai mengikat tali sepatunya dan baru saja merapikan seragam dan rambutnya yang basah. Mata kami bertemu. Aku tidak yakin bahwa ia mengenali wajahku karena baru saat ini kami berpapasan lagi setelah masa orientasi. Biasanya aku hanya memperhatikannya dari jauh.
Saat itu ia tersenyum kepadaku. Manis sekali. Secara spontan aku pun tersenyum kepadanya. Bukan kah ini artinya Rama mengingatku? Lalu aku mulai bertanya-tanya, apakah ia tahu bahwa aku ‘Ayu’ yang mengirim pesan kepadanya? Yang jelas saat itu aku benar-benar senang. Aku sungguh tidak bisa menggambarkan perasaanku saking senangnya.
Saat tiba di kelas aku segera mengambil bekalku dan makan siang bersama dengan Hugo, Nevan, dan Tony. Aku masih senyum-senyum mengingat kejadian barusan seolah aku tidak akan pernah melupakan senyuman pertama yang Rama berikan kepadaku dan yang pasti aku sungguh-sungguh tak ingin melupakannya.
“Yu. Kenapa lo senyum-senyum sendiri gitu? Kesambet ya lo?” tanya Tony.
“Ah! Engga. Hehehe.”
“Dih, ditanya malah ketawa. Jawab eh, Yu!” desak Tony. Sementara Hugo dan Nevan asik dengan ponsel mereka.
“Hehehe. Tadi gue ketemu Radium dong di musala. Papasan kita,” jawabku.
“Rama? Terus?” Tiba-tiba Nevan nimbrung. Ia tidak lagi sibuk dengan ponselnya dan mulai penasaran dengan lanjutan ceritaku.
“Radium! Terus dia senyum dong ke gue. Bener-bener senyum buat gue karena pandangan kita bertemu. Ah ... manis banget lagi senyumnya,” kataku. Aku kembali mengingat senyuman tadi dan hal itu membuatku senang saat ini.