CETHIK

Wulan Kashi
Chapter #2

1. Yang Hadir Tanpa Nama

Restoran ramai seperti biasa malam ini. Yang berbeda, adalah saat Rendra hendak melepas kacamata sebelum bekerja, ekor matanya sempat menangkap wajah seseorang yang sedang memenuhi pikirannya.

Andin, sedang duduk berempat. Ada satu perempuan lain, dan dua laki-laki. Mereka asyik berbincang sepertinya sambil menunggu pesanan. Andin, nampak rileks dan bahagia. Senyumnya mengembang indah. Mereka sedang double date

Tak ada hak bagi Rendra untuk cemburu. Dia, dan Andin belum berkomitmen apapun, selain kode tak tersurat bahwa mereka sedang dekat. Hanya itu. 

Rendra melepas kacamatanya setelah menghela napas panjang. Mari bekerja dengan professional. Tapi itu tadi pikirannya yang berbicara. Hatinya, masih sesak memikirkan hubungan dengan Andin yang tiba-tiba nampak suram ujungnya. 

                                                          ***

Sepulang bekerja, Rendra memilih melamun di teras kosnya. Hampir tengah malam. Pikirannya, melanglang buana pada momen di mana dia bertemu dan jatuh cinta pada pandangan pertama. Untuk pertama kali, dalam hidupnya.

Sore itu, saat tidak ada pekerjaan penting yang harus dikerjakan seperti deadline tugas, Dharma mengajaknya ke sesuatu tempat tanpa menjelaskan akan ke mana. Saat melihat papan nama tempat itu, Rendra misuh

Sanggar seni. 

Untuk apa Dharma mengajaknya ke sini? Dharma tahu Rendra tak paham seni. Dan mindset-nya selama ini, orang seni ini orang-orang ‘nganggur’ saja. 

Setelah sempat menyalami beberapa orang yang ada di teras sanggar sebagai basa basi, baru Rendra kembali menepi untuk mulai menelepon Pak Sigit untuk membicarakan kegiatan EO lagi. Bisnis EO itu, ia mulai beberapa bulan lalu, berawal dari perkenalannya dengan seseorang berrnama Adhit. 

Telepon itu baru berlangsung sekitar 10 menit, dan sebenarnya belum tuntas, kalau saja tidak ada yang mengganggu Rendra. 

Mengganggu hati, tepatnya. 

Apa ini? Siapa dia? Ada perempuan mendadak keluar dari sanggar. Wajah bersihnya nampak teduh dan menyenangkan. Jilbabnya meski hanya dililit santai, tapi tetap terlihat anggun. Senyumnya, dari hati. Rendra terperangah.

Entah Pak Sigit bermonolog berapa lama, sampai Rendra menyadari bahwa obrolan mereka hanya searah. Rendra segera meminta maaf pada Pak Sigit, dan berjanji akan segera menghubungi kembali, karena sekarang Rendra mendadak dipanggil dosen, alasannya. 

Rendra masih menepi dan duduk di jok motor Dharma. Hanya saja sekarang matanya sibuk memandangi perempuan itu yang kini mengambil gitar, lalu duduk di salah satu sudut teras sanggar dan memainkan lagu Dewa, separuh napasku.

Lihat selengkapnya