Orang normal tidak akan bertamu jam 11 malam. Tapi kalau yang didatangi Adhit, itu masih tergolong normal. Adhit pasti masih akan ada di warungnya. Adhit yang dia kenal dua tahunan ini biasanya datang ke warungnya ini jam 9 malam sepulang dari tempat kerjanya di sebuah Perusahaan PMA di daerah Rungkut.
Warung kecil ini menjadi saksi Rendra pernah berniat akan mencari sesuatu yang terasa kurang dalam hidupnya yang dulu dia tidak paham apa itu. Hanya saja saat itu dia merasa hidup harusnya tidak hanya seperti ini. Hidupnya terlalu ‘biasa’, flat, dan sepertinya tidak jelas arah.
Pertemuan Rendra dengan pemilik warung ini unik. Yaitu, melalui kecelakaan karena microsleep yang Rendra alami di suatu pagi. Kejadian itu sekitar dua tahun lalu. Jauh sebelum dia mengenal Andin.
Malam hari sebelum kejadian, Rendra memang kurang tidur karena banyak deadline tugas kuliah. Setelah itu, dia kesulitan untuk tidur. Badannya yang lelah membuat mood-nya turun. Dia memilih melamun di teras tempat kosnya. Mendengarkan sayup-sayup obrolan di kos sebelah yang tidak jelas arahnya, membuat Rendra jadi memertanyakan hidupnya sendiri. Apa dia juga akan se-tidakjelas mereka?
Pagi, setelah Salat Subuh, Rendra masih belum bisa tidur. Dia lalu memilih menjalankan si RD tak tentu arah, dan menjelang jam enam pagi, dia sampai di sekitaran Rungkut. Dan rasanya Rendra masih membuka mata, saat tiba-tiba saja si RD sudah menabrak sesuatu.
Rendra terjatuh bersama RD. Rendra tak sempat merasa pandangannya menggelap sama sekali. Begitu suara benturan itu terdengar, matanya langsung menangkap bayangan sedan hitam di depan matanya, dan Rendra lalu tersungkur begitu saja.
Hendak segera bangun tapi rasanya berat. Dua orang mendekat. Yang satu mengangkat si RD, dan yang satunya merangkul Rendra untuk bangun.
Nama si pemilik sedan hitam itu, Adhitya Wijaya, yang lalu Rendra sebut Mas Adhit. Usianya selisih sekitar dua tahun saja. Dia, akuntan di sebuah perusahaan multinasional yang berlokasi di Surabaya. Masih muda, begitu lulus langsung mendapat pekerjaan di sana. Beruntung bukan? Sudah begitu, sejak kuliah sudah punya toko ATK (Alat tulis kantor) dan fotokopi-an, dan warung kecil dengan omzet yang pastinya tidak kecil. Rendra ingat betul, sejak kecelakaan itu, sampai sekarang, warung ini tidak pernah sepi.
Kebanyakan orang akan iri pada Adhit, termasuk Rendra awalnya. Tapi, setelah tahu ‘hidup’ Adhit yang selama ini tidak ditampilkan untuk kebanyakan orang, baru Rendra salut.
Lamunan Rendra mengingat awal perkenalannya dengan Adhit buyar saat mendengar pintu warung terbuka. Kalau hampir tengah malam ada yang membuka pintu warung, pasti si pemilik yang datang. Dan betul, Adhit datang, di tangannya sudah menenteng dua keresek besar berisi aneka persiapan lauk untuk besok. Hanya saja, malam ini ada memar di wajahnya.
Salam dari Adhit yang tidak lagi terkejut saat melihat Rendra, dijawab Rendra datar.
“Habis tawuran lagi Mas?”
Adhit terbahak sambil berlalu menuju dapur, diikuti Rendra. Ini salah satu ke”tidaksempurnaan” dalam hidup Adhit. Yaitu, sering dicemburui orang-orang karena pacar mereka naksir Adhit. Adhit itu tampan, berkulit bersih, murah senyum, berkharisma, wajar kalau banyak yang tergila-gila.
Kalau di sebelah Adhit, Rendra seperti bodyguard-nya. Rendra yang tinggi jangkung, seperti siap melindungi Adhit, si bos tampan, yang tingginya berkisar 175 cm itu. Rendra? 182 cm.
Rendra membuntuti Adhit menuju dapur. Di sana Bu Narmi, salah satu karyawan Adhit masih sibuk mengaduk sambal di wajan berdiameter sekitar 40 cm. Melihat Adhit datang dia tergopoh permisi menuju kamar mandi, dan Adhit sigap menggantikannya mengaduk sambal. Sedari tadi Bu Narmi tidak menyadari kalau ada Rendra di depan berarti. Kalau tahu, biasanya dia akan minta tolong padanya.
"Apa motivasi Mas ngejalanin hidup yang sesibuk ini? Bukan pelarian kan?"
"Pelarian dari apa Dik?" balas Adhit santai.
"Dari kesepian."