Pagi ini terasa damai. Di sanggar kampus, belum terlalu ramai. Rendra dan Dharma bisa agak santai duduk di teras sanggar. Dharma sempat masuk ke sanggar setelah dipanggil oleh seseorang, lalu keluar membawa dua gelas kopi. Pagi yang sempurna bukan?
Rendra berpindah duduk bersandar di kursi kayu di bawah pohon di depan sanggar, menikmati angin yang membawa aroma cat lukis dari lukisan yang dibawa Dharma dan aroma kopi dari gelasnya.
Dharma duduk di sebelahnya, meski tidak terlalu dekat karena terhalang dua gelas kopi di sisi mereka.
“Sanggar ini makin beken sejak kamu rajin ke sini, Ren. Dulu, Andin yang menaikkan pamor tempat ini. Andin membuktikan, bahwa anak seni, juga sangat amat bisa berprestasi. Apalagi di paska sarjana dia juga cemerlang. Sekarang, ada kamu. Meski tampang nggak jelas gini, kamu pemegang rekor IPK tertinggi terus.”
Rendra tersenyum kecut sambil memutar-mutar gelas kopi di sisinya. “Gimana caranya biar jelas ya Dhar?”
“Tampangmu?”
“Bukan, masa depanku sama Andin.”
Dharma tertegun. Lalu memilih menunduk memandangi lukisan di sisinya.
“Kamu kayak tahu banyak tentang dia Dhar, coba, bocorin sedikit kenapa kok dia tidak boleh bahagia dengan siapapun?”
Dharma memilih diam, malah mengeluarkan rokoknya.
“Kamu, juga naksir dia Dhar?”
Dharma menggeleng cepat. “Kalau maksudmu cinta laki-laki dan perempuan sebagaimana umumnya, nggak Ren.”
“Terus, cinta yang gimana?”
“Sebagai sesama manusia,” jawab Dharma cepat lalu bergegas pergi masuk sanggar membawa gelas kopi yang kosong. Sepertinya dia sengaja berlari.