Gerimis menyiram salah satu sudut pinggir Surabaya saat Rendra menuju salah satu anak Andin.
Ia tiba di salah satu perkampungan kumuh di sudut Surabaya. RD-nya mendecit pelan, memaksa berhenti di tanah becek yang bercampur lumpur. Matanya memandangi salah satu rumah kayu reot di bawah jembatan. Di tangannya, keresek berisi susu formula dan beberapa baju bekas bersih—sebagian titipan Andin, sebagian inisiatifnya sendiri. Ada bayi pemulung yang akan dia jenguk sore ini.
Beginilah rutinitas Andin di sore hari, sebelum ancaman itu mendera. Sekarang, biarkan Rendra yang berkeliling sendiri. Toh tidak setiap hari.
“Sae Pak?” sapa Rendra pada si pemulung yang menjadi tujuannya. Dan dia disambut hangat di sana. Rendra kadang menggendong bayi itu sekaligus mengamati tumbuh kembang salah satu anak Andin itu. Kalau tidak ada perkembangan berarti, dia akan menjalankan plan B dari Andin. Yaitu diam-diam menyelidiki kenapa tidak ada perkembangan. Apakah ada masalah kesehatan? Atau jangan-jangan bantuan susu dijual? Dan berbagai kemungkinan lain. Andin, meski terlihat ramah dan santai, diam-diam sangat jeli mengamati satu per satu anak-anaknya.
“Mbak Andin biasanya datang lebih sore, Mas,” ucap si pemulung.
“Iya, sekarang saya gantian.”
Rendra tak menjelaskan kenapa Andin tak bisa hadir. Ancaman itu belum reda. Tapi rutinitas tak boleh putus.
Rendra duduk perlahan. Kardus yang jadi tempat tidur bayi itu masih sama seperti minggu lalu, tapi kini dibalut selimut berbunga yang ia bawa tempo hari. Aromanya tetap: perpaduan susu basi dan debu lembab.
Rendra mengangkat tubuh mungil itu hati-hati, menatap wajah kecil yang lelap tanpa tahu dunia seperti apa yang menantinya.
Ia menggendong bayi kecil bernama Nina itu keluar dari rumah reot dengan penyangga yang tak seberapa utuh lagi. Beberapa bulan mengikuti pergerakan Andin, membuat Rendra lihai menggendong bayi, dan anak-anak. Ia bawa Nina menikmati suasana senja, mengharap udara luar sedikit melegakan paru-parunya.
Air mata Rendra menggenang saat dia melihat wajah polos yang tentram dalam tidurnya itu. Sejak kecil Rendra hanya tahu segalanya tersedia. Apapun keinginan dan kebutuhannya, mudah saja dia dapatkan. Melalui Andin, dia melihat sisi lain dari dunia. Mungkin keras, mungkin kejam, tapi bukan itu yang utama. Tapi apa yang bisa dia perbuat selama diberi hidup dengan banyak kenikmatan selama ini?
Rendra menghela napas panjang. Aroma sampah dari sekitar rumah reot menguar menyesakkan napas. Belum lagi tanah becek dan lembab semakin melengkapi. Awal dia ke sini, mati-matian dia berupaya untuk tidak muntah. Saat ini, hidungnya sudah berkompromi sepertinya.
“Makan buburnya mulai banyak Pak?”
Ayahnya tersenyum mengangguk. “Syukur lahap, Mas. Itu pipinya mulai kelihatan empuk.”
Rendra ikut tersenyum. Betul, dia setuju. Nina sudah sangat berbeda dibanding pertama kali Rendra melihatnya. Dan Rendra berusaha keras mengingat satu-satu dari belasan anak yang Andin rawat itu. Minggu kemarin seperti apa, sekarang bagaimana. Itu karena Andin bukan hanya penyayang. Ia pencatat yang teliti. Di tas ranselnya, ada buku catatan. Setiap halaman penuh coretan kecil mulai dari nama, usia, berat badan, alergi kalau ada, makanan kesukaan, kebutuhan prioritas, dan lain-lain. Setiap anak dibuatkan riwayat sakit, catatan tumbuh kembang sederhana, sampai hal sepele seperti “suka susu rasa coklat, bukan vanila.
Rendra pernah membacanya saat menunggu di depan rumah kayu itu. “Ini kamu hapalin, Ndin?” tanyanya dulu.
Andin tertawa perlahan. “Harus. Tapi catatan ini perlu, untuk jaga-jaga siapa tahu aku tidak bisa hadir, mereka yang gantikan aku bisa membaca dari sini. “
Rendra mau tak mau harus mengikuti ritme Andin yang seperti itu.
Masuk ke dunia Andin bukan cuma tentang cinta, tapi tentang komitmen dan bersahabat dengan kelelahan. Pagi hingga siang, Rendra kuliah—mengejar SKS dengan jadwal yang padat. Siang hingga sore, jika tidak ada kegiatan perkuliahan, ia akan mengatur jadwal kunjungan ke anak-anak Andin. Malam hari ia mengurus EO.
Kadang tugas kuliahnya baru disentuh lewat tengah malam. Tapi tak mengapa, sejak mengenal Andin, dia tahu hidup bukan cuma tentang IPK dan jadwal akademik, karir, pekerjaan.