CETHIK

Wulan Kashi
Chapter #7

6. Cethik Kedua

“Ren, yang dari Surabaya minta ganti konsep. Yang dari Banyuwangi minta tambahan paket rafting. Kapan bisa ke Malang? Kita atur lagi ini.” Pak Sigit, si owner dari EO yang diikuti oleh Rendra yang malam ini menghubunginya. EO sedang banjir orderan, ini yang sangat Rendra syukuri. Tak masalah waktunya akan semakin tersita, toh dia sudah resign dari restoran.

“Saya besok kosong jadwal kuliah Pak. Besok pagi insyaAllah saya meluncur ke Batu nggih,” jawab Rendra sambil berdoa dalam hati, supaya tidak ada dosen yang mendadak pindah jadwal kuliah besok. Setelah sepakat, Rendra menyimpan ponselnya, dan kembali menjalankan si RD menuju Rungkut, ke warung Adhit. Sosok yang sudah seperti kakak kandungnya itu. 

Cethik pertama dalam hidup Rendra bermula sejak  dia dekat dengan Adhit. Ia mengajarkan padanya makna tentang arti hidup untuk punya manfaat bagi sesama. 

Cethik kedua yang semakin memperjelas arah hidup Rendra adalah saat outbond dari kantor Adhit di mana Rendra untuk pertama kali bekerja sama dengan EO Pak Sigit, membawanya berkenalan pada Pak Sigit dan dua kawannya. 


 Batu, 2002

Rendra saat itu masih akan menjalani awal semester 5, saat Outbond kantor Adhit selesai sekitar jam 11.30. Itu kenekatan pertama Rendra, yaitu bekerja sama dengan sebuah EO untuk menyelenggarakan outbond kantor Adhit. Adhit yang diberi kepercayaan dari kantornya, memercayai rendra untuk semuanya. Mulai dari mencari EO yang bisa memenuhi spesifikasi seperti yang diminta kantor, sampai transportasi dan semuanya.

Saat break Salat Duhur, Adhit dan Rendra punya banyak waktu setelah salat, untuk ngobrol panjang lebar dengan Pak Sigit. 

Dan entah, apa karena se-frekuensi, atau memang Adhit yang ramah dan mudah akrab itu, asyik sekali ngobrol dengan Pak Sigit. Tak peduli bahwa akhirnya tertinggal oleh rombongan yang lain yang bersiap untuk rafting.

Bicara visi misi hidup dengan Pak Sigit jauh lebih menarik bagi Adhit. Dan Rendra, mau tak mau terseret. Apalagi kemudian Pak Sigit didatangi oleh teman dekatnya, yang bernama Pak Adam, sesama pebisnis juga. 

Yang Adhit dan Rendra dengar awalnya adalah tentang harga jual tanah yang sedang mereka incar, ukuran, batas dan prospek lingkungan kedepannya. Mulanya Adhit dan Rendra hanya mendengar, tidak enak nimbrung karena bagaimanapun mereka hanya tamu, sama sekali tidak paham situasi. 

1,8 M. Fantastis. Dan mungkin karena itu Adhit akhirnya penasaran. "Dipakai bisnis apa Pak rencananya?" 

"Bisnis manfaat Dik," jawab Pak Sigit. Adhit dan manfaat, itu sepaket, sejauh ini itu yang Rendra lihat dari Adhit. Seakan tak rela sedetik hidupnya berlalu tanpa arti. Mendengar kata manfaat barusan pasti akan membuat Adhit terpantik, dan  tidak akan tinggal diam tentang ini. Yakin.

"Pak Agam and the gank ini, sedang ada visi dan misi yang besar. Membeli tanah itu, baru langkah pertama. Selanjutnya, kami akan membuat panti asuhan, untuk anak jalanan, terlantar dan yatim piatu. Mumpung tanah-tanah di Batu ini belum pada jadi hotel, vila dan lain-lain. Semoga kami bisa membuat panti itu di situ. Tempatnya nggak terlalu minggir, sehingga memudahkan akses, misal kelak anak-anak sekolah, akses kesehatan juga, dan lain-lain."

Rendra terdiam, berpikir keras, tidak seperti Adhit yang tetap tampak tenang tapi antusias. Pandangannya menerawang sejenak, menimbang-nimbang.

"Berapa orang Pak, yang bergabung?" tanya Adhit.

"Sejauh ini baru tiga. Pak Agam, Pak Adam, dan Pak Aldi. "

Adhit termenung sebentar, mengeluarkan ponselnya, entah membuka apa. Mungkin kalkulator. Menghitung dalam setiap harinya, minimal dia mengumpulkan uang berapa. Sepertinya bisa, hasil harian dari warung, khusus untuk project ini. Toko ATK untuk hidup sehari-hari, gaji untuk tabungan. Kan Adhit juga masih ada rencana membeli rumah yang agak ke'tengah'. Selama ini di Surabaya pinggir, demi mendapat harga murah.  

"Saya gabung Pak, kalau boleh."

Rendra hampir tersedak. Tapi ia tahu, Adhit tak pernah asal bicara. Sejauh ini dia mengenal Adhit sebagai orang yang hati-hati dalam melangkah. Kalau sampai dia berani bilang iya, pasti sudah dia pikirkan dengan baik, meski mungkin hanya berapa belas detik. 

"Ayo, kami ajak kamu survey lokasi sekarang. Mumpung acara berikutnya masih lama."

Rendra tergopoh-gopoh mengikuti mereka. Mengikuti badan fisik mereka masih mudah, mengikuti pola pikir mereka yang Rendra masih perlu adaptasi.

Lokasi yang mereka tuju sekarang benar-benar masih seperti hutan, barongan kalau kata orang sini. Orang awam, mungkin akan berpikir ratusan kali. Untuk apa beli lokasi semacam ini. Tapi tidak bagi mereka berempat. Dan saat mereka berempat berkumpul, Rendra dan Pak Sigit menepi memandang mereka dari jauh. 

           "Urusan tanah, biar mereka berempat. Bangunan, operasional, dan lain-lain, urusan kita. Piye? Aku tantang kamu, Dik." 

Lihat selengkapnya