Rendra bisa merasakan, meski berat, Andin akan sungguh-sungguh meninggalkan Surabaya. Karena itu, Rendra ingin setiap hari, bisa bersama Andin meski hanya untuk satu atau dua jam, tak mengapa. Sayangnya sore ini Andin mendadak pulang ke Pasuruan bersama ibunya. Mungkin karena keselamatan mereka sedang terancam.
Rendra menarik napas panjang, menatap langit kelabu yang meneteskan gerimis tipis seperti sisa tangis yang tak rela reda.
Ia memutuskan baru pulang dari kampus ketika air mulai turun hanya sesekali. Bukan karena menunggu reda total, tapi karena tahu laptop di dekapannya itu hanya dibungkus ransel kanvas tua tanpa lapisan pelindung.
Ia menundukkan tubuhnya sedikit, mencoba menjadi payung bagi benda yang sedang ia lindungi. Setiap tetes hujan yang mendarat di tengkuknya terasa seperti ejekan kecil dari langit, seolah mengingatkan bahwa dirinya belum siap pulang, tapi juga tak punya alasan untuk tetap tinggal.
Trotoar basah memantulkan bayangan lampu jalan yang mulai menyala meski matahari belum sepenuhnya tenggelam.
Di dekat persimpangan menuju jalan kampung dekat daerah kampus, tiba-tiba motor tuanya ditendang dari arah samping. Rendra yang tak siap, terjatuh juga.
Rendra meringis, lututnya tergores aspal. Matanya menyapu cepat memindai sekitar. Empat orang. Jaket tebal, celana gelap, dan masker menutupi wajah mereka. Salah satu dari mereka masih menahan stang motornya agar tak bisa ia angkat lagi.
Sial. Jelas ini bukan insiden belaka. Ini direncanakan.
Rendra menyipitkan mata. Nafasnya memburu pelan. Sepertinya tidak ada yang membawa senjata di tangan., atau belum terlihat? Dadanya berdegup cepat. Kali ini bahaya bukan sekadar mungkin. Bahaya sedang berdiri di depannya.
Ia mengambil satu langkah mundur, memosisikan kaki seperti kuda-kuda dalam latihan bela diri masa SMA. Kalau dari segi fisik, Rendra memang paling tinggi di antara mereka, tapi kalau mainnya keroyokan, ya entah juga. Mata Rendra menatap liar sekitar untuk memindai, barangkali ada celah untuk bisa menghindar.
"Opo temae cak?" ucap Rendra berusaha tenang. (Apa temanya cak?)
"Kalau kamu pengen hidupmu panjang, jauhi Andin. Gampang, kan? Hidupmu kembali normal," jawab salah seorang dari mereka, terdengar dari arah belakangnya.
Rendra masih waspada melihat yang berdiri di depannya, dan sesekali ekor matanya berusaha memindai yang disamping kanan-kirinya.
"Kalau mau ngomong, ngomong aja. Nggak perlu nendang. Mainnya yang bersih. Jangan main keroyokan gini," jawab Rendra.
"Masih mau menguliahi? Kamu ada waktu seminggu, untuk menjauhi Andin.”