Andin, dijemput ayahnya di depan tempat kos Rendra. Rendra menunduk hormat, mencium punggung tangan Rajendra lalu menangkupkan kedua telapak di dada.
Saat Rajendra mengangguk pelan, dengan tatapan tenang yang tak mudah dibaca, Rendra hanya mampu menelan ludah. Ucapannya tak sempat keluar, hanya anggukan kaku sebagai ganti salam.
Baru kali ini Rendra benar-benar berhadapan dengan Rajendra. Biasanya, hanya melihat dari jauh dan sekilas tersenyum.
Rendra menghela napas panjang melihat mobil Rajendra menjauh. Tidak bisa membayangkan seperti apa hidup keluarga mereka. Masih menjadi misteri bagi Rendra.
Belum selesai bernapas lega, ujian selanjutnya datang: Mbak Rani, kakak keduanya, si calon apoteker tiba-tiba muncul di pagar kos saat Rendra hendak menutup gerbang setelah memasukkan si RD.
"Dik, mbak lagi galau. Temani makan malam."
"Mbak, aku baruuu banget habis makan. Galaunya bisa ditunda besok nggak?”
"Yang nyuruh kamu makan siapa? Temani mbak tok kok."
Rendra mendecak malas, tapi kakinya beranjak mendekat mobil mbaknya itu.
"Mbak, aku ngantuk, nggak nyetir dulu ya?” Padahal alasan sebenarnya, lukanya nyeri.
Rani mengangguk singkat dan beranjak ke kursi pengemudi.
"Mau makan di mana Mbak?"
"Nggak ngerti, ada usulan?"
"Ada, ke Rungkut."
"Nggak kurang jauh?"
"Nggak apa, capek nyetir itu bagus sebagai obat tidurnya orang galau."
Sebuah tepukan garang hadir di pundak Rendra. Rendra bertahan supaya tidak berteriak menahan sakit. Luka jahitnya terasa semakin berdenyut.
Sekitar jam 9 malam mereka sampai di warung milik Adhit. Rani terheran-heran, mungkin dia tidak menyangka adiknya yang terkenal tidak gaul ini bisa-bisanya cari makannya sejauh ini. "Kok bisa kamu sampai sini?"
"Mbak yang bawa." Dan tepukan mendarat lagi di atas lukanya. Rendra menahan napas, lukanya semakin terasa nyeri.
"Ini ayam pedas yang terkenal itu lho Mbak. Aku kenal sama owner-nya. Muda, ganteng, jomlo. Minat?" Tapi Rendra segera berlari masuk. Daripada kena hantam lagi.
Lihat, Rendra, saat berkumpul dengan keluarganya, akan menjadi sosok yang berbeda. Si bungsu ini, tetaplah adik kecil bagi kedua kakak perempuannya.
Rani masuk dengan raut muka datar. Rendra masuk mengambil sendiri menunya karena Bu Narmi dan Si Jhon sibuk. Lagipula mereka sudah terbiasa dengan kehadiran Rendra.
Rendra menyajikan makanan lengkap dengan minumannya ke Rani yang masih melamun. Dan belum sesendok yang masuk, tapi air mata Rani sudah mulai menggenang.
"Mbak, Mas Adhit, si owner datang. Lihat."
Adhit masuk dengan menenteng sekresek besar lombok kecil dan lombok besar di tangan satunya.
Rani melihatnya horor. Tapi saat pandangannya beralih menatap wajah Adhit, sekilas agak terkejut, yang segera dia tutupi dengan pura-pura makan.
Adhit menyapa Rendra sekilas, lalu masuk ke dapur.
"Ngganteng tho?"
Rani mengangguk. "Tapi kalau ganteng masih jomlo, apa nggak belok Ren?"
Rendra tersedak, Adhit terkekeh di dekat pintu samping. Rani melongo sejenak, sebelum pura-pura sibuk kembali dengan piringnya.
Adhit kembali masuk mobilnya, sepertinya mengambil barang-barang yang tersisa. Rani ingin punya pintu ajaib yang bisa membawanya keluar dari sini dalam sedetik.