CETHIK

Wulan Kashi
Chapter #11

10. Menikmati Sisa Waktu

Pereda nyeri yang Rendra dapat setelah menjalani proses penjahitan luka kemarin, memang disarankan minum hanya bila nyeri. Pagi ini ternyata masih harus dia minum lagi karena nyeri di sekujur tubuhnya, terutama pada luka jahitan di dadanya.

Dokter menyarankan untuk mengurangi gerak dulu, tapi Rendra tak bisa menurut dulu sementara ini. Dia dan Andin hanya memiliki waktu seminggu lagi sebelum harus berpisah. Dan hari ini, Andin mengajak untuk mengunjungi anak-anaknya. Rendra mengatur nafas dalam-dalam sambil berharap nyeri di lukanya bisa sedikit mereda.

Andin memberi kabar bahwa dia sudah di sanggar, pada Rendra yang sebenarnya sudah menunggu sekitar sejam di area gedung serba guna yang hanya sekitar 100 meteran saja jaraknya. 

Begitu mendengar deru si RD mendekat, Andin yang tadinya nampak melamun memandang interaksi warga sanggar seketika menoleh ke sumber suara. Senyumnya mengembang, lalu berjalan mendekati Rendra, dan mencari tempat yang agak sepi untuk duduk berdua.

Rendra cukup peka untuk bisa meresakan beban dalam pikiran Andin saat ini, meski dia tetap nampak ceria seperti biasa. 

“Kenapa kamu suka nongkrong di sanggar seni begini Ndin?” 

Rendra tahu pertanyaan pembuka sembari mereka berjalan ke sisi lain halaman sanggar ini terlambat untuk ditanyakan setelah interaksi lama mereka. Tapi sudahlah, baru kali ini Rendra ingat untuk menanyakan.

“Memangnya kenapa Ren?”

“Nggak, bukannya apa. Tapi, biasanya orang dengan prestasi akademik sekeren kamu, mana mau nongkrong-nongkrong di tempat seperti ini. Lagipula, kamu mahasiswa paska sarjana, nongkrongnya kok di tempat orang-orang yang bahkan untuk S1 saja masih otw.”

Andin tergelak. Tangannya bergerak membuka buku catatan dari tasnya. “Ren, aku titip ini. Kemungkinan, aku tidak bisa sering-sering lagi di Surabaya.”

Rendra membeku beberapa detik. Tangan di sisi tubuhnya, seperti enggan bergerak.

Andin memandang Rendra dengan tatapan yang ––entah. Sepertinya sedang memindai Rendra dalam-dalam, untuk membuat memori yang kuat dalam benaknya. Tentang sosoknya yang  jangkung, kurus, dengan rambut ikal sebahu yang diikat asal, sedikit basah oleh udara lembab sore itu. Kacamata tebalnya sedikit buram, entah oleh embun atau pandangan yang berkabut. Di bawah rambut yang sering membuatnya terlihat berantakan itu, sebenarnya ada wajah manis yang jarang ia rawat dengan sungguh-sungguh. Hari ini pun kemejanya setengah kusut, tapi aroma sabun yang lembut masih tersisa di jaket lusuhnya.

Puas meneliti sosok di sisinya, Andin menggoyang buku itu sembari memberi kerlingan menggoda.  Rendra menerima perlahan, seperti menyentuh sesuatu yang bisa meledakkan dadanya kapan saja.

Bayangan perpisahan menari di pelupuk mata. Sesuatu mencengkeram dadanya—bukan luka, tapi perasaan yang sulit ia beri nama. Resah? Pilu? Takut rindu? Takut berpisah?

Langit senja mendadak terasa lebih kelabu. Bukan karena awan, tapi karena dadanya sendiri yang menggumpal. Mendungnya datang dari dalam.

“Ayah menguatirkan keselamatanku kalau aku di sini Ren. Apa kamu nggak keberatan aku menitipkan anak-anak padamu?”

Rendra menggeleng dan membuang pandang lurus ke depan, mencoba menutupi genangan air matanya. Ini hari yang tidak pernah Rendra harapkan untuk terjadi. “Mulai kapan, Ndin?”

“Entah sih Ren. Kita, masih ada waktu untuk tur kembali ke anak-anak. Meski di buku itu sudah kutulis detail masing-masing keperluan mereka, tetap saja aku rasa kita perlu menemui mereka. Aku nggak meragukan kecerdasan dan daya ingatmu. Tapi, ini juga sekaligus sebagai obat rinduku pada mereka. Setelah aku tidak di Surabaya, mungkin aku tidak akan bisa menemui mereka lagi.”

Rendra menggeleng perlahan. “Surabaya Pasuruan hanya berjarak 70 km kan Ndin. Kapan-kapan, kalau situasi memungkinkan dan aman, kamu bisa ke sini kan? Lagipula, bagaimana tesismu?”

Andin mengangguk dengan senyum yang tetap mengembang. “Tesisku urusan gampang. Yang penting, ayahku nggak panik, Ren.”

Rendra terdiam sejenak. Ayah. Iya, Rendra paham betapa Andin sangat dekat dan menyayangi ayahnya, meski yang Rendra dengar-dengar dari selentingan, tidak pernah serumah karena orang tuanya bercerai sejak Andin masih bayi.

“Ndin, seandainya kita tidak bersama lagi, maksudku kita menjaga jarak, bukannya itu sudah cukup?”

Lihat selengkapnya