Kebersamaan Andin dengan anak-anaknya terasa begitu cepat berlalu. Menjelang azan, mereka bergegas pulang. Di sebuah masjid, mereka berhenti untuk salat. Andin sudah siap mengeluarkan baju ganti dari dalam jok motornya. Bahkan dia membawakan juga untuk Rendra, yang terperangah. Andin terbahak.
“Baju Pak Rajendra, Ndin?”
“Iya,” jawabnya lalu kembali terbahak.
Rendra menggeleng-gelengkan kepalanya, masih takjub dengan ketelitian Andin menyiapkan banyak detil. Biasanya, dia menyuruh Rendra membawa baju ganti kalau cuaca hujan. Tapi tadi memang hanya mendung sehingga Rendra tidak merasa perlu membawa baju ganti. Siapa sangka di tujuan ternyata masih becek berlumpur. Dan Andin, ternyata sudah membuat langkah antisipasi.
“Ini baju ayah waktu masih muda. Ada banyak di rumah Pasuruan. Kalian, sama aja badannya. Tinggi amat. Pasti cocok buatmu.”
“Masalahnya, kamu ijin nggak ke Pak Rajendra? Nanti kalau aku ketahuan pakai baju beliau gimana, Ndin?”
Andin kembali tergelak, lalu menggerakkan tangannya di lehernya sendiri, seolah-olah sedang menggorok lehernya. “Bisa dicincang kamu, Ren.” Gelak tawa Andin kembali berderai.
Rendra tersenyum kecut, lalu mereka bergegas masuk masjid untuk salat. Setelah salat, mereka berjalan kaki ke depan masjid, di seberang jalan ada warung kaki lima.
“Nggak ada jadwal ngafe malam ini?”
Andin menggeleng. “Ayah minta aku mengurangi jadwal, Ren.”
Tidak usah bertanya kenapa, Rendra bisa mengira jawabannya. Mereka memilih tempat paling ujung, supaya bisa lebih leluasa berbincang.
“Lihat, ini ibuku,” tunjuk Andin pada foto di dompetnya. Itu pasti foto pernikahan Pak Rajendra, dan ibu Andin.
“Gimana menurutmu?” tanya Andin.
Rendra terdiam sejenak. Pertanyaan Andin ini terlalu luas. Apa maksudnya?
Rendra menatap gambar itu. Sepasang suami-istri muda tersenyum ke arah kamera, senyum hangat dan teduh, seolah menyatakan mereka siap menghadapi segalanya di masa depan.
“Mereka pasti bahagia saat foto ini diambil,” gumam Rendra, perlahan.
Andin mengangguk kecil, senyum tipis mengambang di bibirnya, tapi matanya berkaca.
“Mereka bahagia. Dan semoga... mereka ikhlas menjalani hidup yang seperti ini.” Ia mengelus pinggir foto, seolah ingin menyentuh masa lalu yang sudah hilang.
“Aku yakin mereka masih saling cinta, Ren. Tapi ternyata, cinta saja nggak cukup untuk membuat orang tetap bisa bersama, ya?”
Rendra menoleh, tapi tak berkata apa-apa. Ia tahu, ini bukan tentang jawaban. Ini tentang ruang untuk bicara.
Andin menarik napas, dalam. “Mereka bercerai saat aku masih bayi. Tapi aku nggak pernah merasa kekurangan kasih sayang. Mereka selalu hadir, dengan cara mereka. Ayah memang nggak bisa selalu ada secara fisik, tapi... dia selalu ada. Ah bagaimana menjelaskannya ya, tapi kamu paham maksudku kan?”
Rendra mengangguk, menahan pilu yang diam-diam ikut hadir.
Andin menunduk sebentar, lalu meletakkan foto itu di meja. Tangannya menggenggam gelas, tapi tak diminum.