Pagi itu, cahaya redup dari jendela kos menyapu dinding kamar Rendra. Ia berdiri di depan cermin, menarik napas pelan saat jarinya menyentuh perban yang menutup luka di dadanya. Sekilas, ia teringat detik ketika tubuhnya dihantam, dijatuhkan, dan dilukai. Tapi rasa ngilu itu kini kalah oleh nyeri lain yang tak kasatmata—nyeri akan waktu yang semakin sempit.
Dengan satu tarikan perlahan, perban itu terangkat. Di cermin, tampak luka memanjang dari pundak kanan hingga dada kiri. Garis-garis merah tua yang mulai menghitam—tanda bahwa tubuhnya sedang belajar sembuh. Tapi bagaimana dengan hatinya?
Baik, lupakan sejenak tentang hati. Pagi ini, kuliah epidemiologi dulu, setelah itu, ke sanggar bersama Dharma, lalu siangnya, menikmati seminggu yang tersisa untuk bersama Andin, sebisanya.
Sementara dosen menjelaskan materi epidemiologi kali ini tentang analisis risiko dan epidemiologi kesehatan kerja, pikiran Rendra berkelana. Bukannya berlatih membuat mitigasi risiko tentang kesehatan kerja, pikirannya justru berkelana membuat mitigasi risiko tentang bagaimana cara aman memanfaatkan waktu seminggu ini, tanpa menimbulkan teror yang semakin menjadi.
Pikirannya sibuk dengan aneka pertanyaan. Kenapa Andin ada yang meneror dan berupaya supaya Andin tidak bisa berbahagia dengan siapapun? Dan kenapa teror itu bisa demikian serius sampai mengancam nyawa jika tidak dipatuhi? Luka Rendra jadi saksi. Kemudian, pembakaran rumah Andin kemarin pagi. Hari ini, apalagi?
Terkesan egois memang, dirinya dan Andin masih memaksa untuk bersama dalam sisa waktu yang ada. Tapi, Andin juga yang bersikeras untuk ini. Andin ingin membuat Rendra “tur” ke belasan anak-anak jalanan asuhan Andin. Mengingat mereka tersebar di banyak daerah di Surabaya ini, dan Andin ingin Rendra tidak kesulitan mencari alamat mereka.
Waktu berlari tanpa ampun. Sore hari tiba-tiba rasanya melaju terlalu cepat. Saat bersama dengan Andin, waktu seakan demikian cepat berlari, tak terkejar oleh dirinya dan Andin.
Kolong jembatan dan aroma sampah tak lagi mengganggu perasaan Rendra. Dia sudah terbiasa dengan hal-hal serupa ini. Andin, seperti biasa, berjalan tangkas menuruni jalan menurun di tepi jembatan menuju rumah salah satu anaknya.
Rendra mengamati punggung Andin di depannya. Merekam baik-baik. Tidak ada kejelasan kebersamaan ini akan sampai kapan bukan?
“Tahu kenapa hari ini aku sangat bersemangat mengajakmu tur sampai lima tempat Ren?” tanya Andin saat mereka sudah kembali menaiki motor. Karena sudah di atas jam delapan malam, mereka harus segera pulang. Telepon dari ayah Andin sudah terlalu sering masuk. Wajar kalau beliau cemas. Pembakaran rumah dan pengeroyokan kepada Rendra benar-benar membuat wajah Pak Rajendra yang biasa nampak tenang itu nampak tegang.
Rendra menepikan motor Andin ke tempat yang dia sepakati dengan Andin tadi sebelum pulang, yaitu warung kaki lima dekat gerbang perumahan Andin.