CETHIK

Wulan Kashi
Chapter #14

13. BUKAN SEKADAR ANCAMAN

 Bukan kebiasaan Rendra nongkrong di kafe begini. Ini karena Rani yang memaksanya. Biasa, galau, dan entah apa yang dia galaukan. Uang kiriman dari orang tua lancar. Pacar entah punya atau tidak. Apa itu yang membuat galau? Mbaknya cantik kok. Apa mengajak kesini dalam rangka mengenalkan pada pacarnya? Atau malah minta tolong Rendra supaya dicomblangkan dengan Adhit?

Saat mengutarakan itu, Rani melotot. "Kamu kira cewek galaunya cuma urusan itu?" 

"Baik, siap salah. Junior selalu salah."

Rani mendengus, dan menyuruh Rendra memesan makanan ringan dan minuman. Sesaat sembari menunggu pesanan, mereka mengobrol ringan. Tentang Mbak Ayu, tentang kuliah, skripsi, dan lain-lain. 

Dan saat life music dimulai, suara si vokalis membuat Rendra tertegun. Segera ditolehnya panggung, di samping kirinya. Andin???

Bukannya kemarin malam dia berkata tidak boleh tampil di kafe lagi oleh Pak Rajendra? Dan tadi pagi dia ikut ke Pasuruan mengantar ibunya. Malam ini, kok dia berani ke kafe? Apa ada yang menemani?

Lihatlah sekarang, dia tampil se-memukau biasanya. Gayanya santai, senyum yang tetap indah. Tidak ada tanda resah karena ancaman dan kebakaran yang mungkin saja bagian dari teror untuk hidup mereka.  

Entah berapa lama Rendra memandanginya, lalu mengalihkan perhatian, menatap mejanya yang masih kosong. Tapi air mata tahu-tahu membuat pandangannya berkabut. Entah, di mana ujung perjalanan hubungan ini kelaknya. Memaksakan diri seolah benar-benar dua orang asing. Sampai kapan? Dan sampai kapan Andin tidak boleh bahagia?

"Itu, yang ketemu di resto tempatmu kerja dulu ya?" bisik Rani. Rendra mengangguk.

"Kamu naksir dia? Bertepuk sebelah tangan?" godanya sambil menyeringai usil. 

Dulu saat mereka bertiga kecil, urusan goda menggoda itu seru. Bisa berujung berkejaran, penuh gelak tawa. Meski sesekali bertengkar juga. Tapi keluarganya sempurna. Setidaknya bagi Rendra dan kakak-kakaknya. Dan Andin, jangankan adik kakak, orang tuapun seolah tak lengkap padahal ada semua. 

Nggak masalah mau bersama atau nggak Ren. Yang penting kami bahagia menjalani, terlepas itu tidak sesuai dengan standar orang. Kami juga sudah berupaya menjaga jarak dan membatasi kontak, tapi ayah tetap memaksa menemuiku sekali-sekali. Ya, namanya juga anak. Gimana-gimana ya tetep anak kali ya? 

Aku masih beruntung, punya ibu mandiri. Aku juga berpenghasilan meski ya belum fantastis. Karena itu aku membaginya bersama mereka, yang bahkan untuk makan besok saja belum tentu ada.

Cita-citaku sebenarnya kasih pancing, bukan kasih ikan begini Ren. Apa daya, sekarang baru bisa sampai di tahap ini. Semoga kelak kamu bisa sampai ke tahap kasih pancing ya, biar mereka mandiri. 

Pembicaraan itu terjadi di parkiran motor, malam terakhir mereka makan bersama. Lampu-lampu neon dari warung masih memantul samar di jok motor yang basah oleh gerimis halus. Rendra berdiri mematung di samping motornya, helm tergenggam, sementara suara knalpot motor lain menghilang satu per satu di kejauhan.

Baru malam itu, setelah Andin kembali mengucapkan kata ikan dan pancing, ia benar-benar memperhatikan garis-garis hidup orang-orang di sekelilingnya. Mereka sefrekuensi. Suka memberi pancing.

Apa karena itu 'hobby' orang tuanya juga? Orang tua Rendra membiayai sekolah anak-anak karyawannya. Yang agak fantastis, ya si Ratna itu, dikuliahkan di kedokteran. Di Surabaya juga kabarnya. Mbak Ayu yang kadang menemuinya, buku-buku kedokteran juga semua bekas dari Mbak Ayu. 

Lalu Mas Adhit, dia lebih hebat lagi. Usia kepala dua, tapi sudah punya beberapa karyawan. Punya omzet yang lumayan, dan sebentar lagi kalau lancar, bisa patungan membeli tanah untuk panti itu.

Andin, yang hidupnya agak kacau itu, juga sudah punya banyak anak yang dia rawat, meski bukan rawat dalam arti kata harfiah. 

Dan Rendra? Sejauh ini masih berpenghasilan belum tentu, disambi skripsi, dan punya cita-cita 3,5 tahun lagi mulai membangun bangunan fisik untuk panti, yang tanahnya dibeli Adhit dan kawan-kawan. Tapi itu baru sebatas angan-angan. Sekarang, masih belum ada bukti riil. 

"Malah ngelamun," gumam Mbak Rani, tapi tidak lagi mengejar. 

"Iya Mbak. Aku, mungkin jatuh cinta. Kami sempat dekat. Tapi kami tidak boleh dekat, atau salah satu dari kami mati," jelas Rendra setengah berbisik.

Lihat selengkapnya