SMA Harapan 1 Kota Maros.
Kelasku berada di Kelas Akselerasi 10A. Sebenarnya aku tak berniat masuk kelas percepatan tersebut, namun sebuah kejadian membuatku terpaksa ikut di kelas 'Neraka' itu. Kala memasuki SMA Harapan 1, para siswa baru menjalani test penilaian untuk bisa lolos menjadi siswa di sekolah ini. Dan kebetulan nilai ujianku bagus, ditambah lagi dengan nilai rata-rata raportku semasa di SD dan SMP yang bagus dan stabil, membuatku dijagokan para guru agar bisa masuk kelas akselerasi. Sebenarnya aku pribadi tidak mau masuk kelas tersebut karena aku tak mau terikat menjadi 'siswa pintar' yang introvert yang kerjanya belajar dan baca buku terus. Aku ingin jadi siswa bebas. Namun Ayahku sangat ingin aku masuk kelas itu. Kata beliau aku bisa jadi populer dan bisa sekolah hanya 2 tahun saja serta masuk perguruan tinggi dengan gampang dan dapat beasiswa. Desakan-desakan beliaulah yang berharap tinggi membuatku terpaksa mengiyakan diri menerima pinangan jadi murid kelas akselerasi.
"Lin, woy!" gertak temanku, San.
"Apa?" jawabku yang sedang melamun.
"Tumben ko diam saja." San berkata sambil menyontek jawaban di buku PRku.
"Di kampung lagi sering kejadian maling. Meresahkan banget, " ujarku.
"Oh gitu, ya ko jaga-jaga saja biar gak kemalingan. Kalau perlu sewa security."
"Iya, i kau securitynya. Hahaha." Aku tertawa lepas.
San menyikut pundakku dengan kesal. Beberapa teman kelas yang tengah membaca merasa terganggu dengan suara tawaku. Mereka menatap tajam ke arah kami.
"Hussh, ditegur para penyihir tuh," ucap San berbisik dan terkekeh kecil.
"Iyaaa!" kucubit lengan temanku itu dengan gemas.
Yah, beginilah ruang kelasku. Ruang kelas paling senyap di sekolah. Siswanya sibuk belajar dan membaca meski jam pelajaran belum dimulai. Dan raut-raut wajah kami lebih mirip zombie. Lingkaran hitam di kelopak mata karena begadang, wajah kusam berjerawat karena stres serta kondisi fisik yang lemah karena jarang olahraga dan tidak bertemu sinar matahari. Ya Allah harus kuterima masa mudaku dalam penjara eksakta.
***
Pukul 17.50
Selesai mengerjakan PR dan menghafal rumus-rumus pelik, aku pergi mencuci piring di dapur yang menumpuk. Ya jelaslah kan aku tidak punya Asisten Rumah Tangga. Ayah yang baru pulang kerja pun nampak tertidur diatas sofa tempat duduk. Aku kasihan melihat Ayah, pasti kelelahan seharian bekerja di kantor. Ayahku seorang staff administrasi di kantor kelurahan. Jika Ayah melihatku sibuk belajar, Ayah akan pergi memasak buat makan malam bahkan untuk sarapan kami. Sebenarnya bisa saja tinggal beli masakan jadi di kedai-kedai namun Ayah selalu melarangku makan sembarangan. Tak hanya memasak, Ayah pun mencuci baju di mesin pencuci otomatis serta merapikan rumah tanpa mengeluh. Sebagai anak tunggal, aku ingin sesekali membantu Ayah namun Ayah tak mau aku kelelahan. Ayah hanya mau aku fokus belajar dan menyelesaikan sekolah akselerasiku.
Setelah mencuci piring kotor yang menggunung, aku keluar rumah untuk membuang sampah dapur yang banyak sekali. Ada tiga kantong hitam besar. Aku tertatih-tatih membawanya ke tong sampah sampai-sampai badanku terjungkal masuk dalam tong sampah yang bau dan busuk.
Hueek!! Hiih! Begidik bulu badanku mencium aroma menusuk hidung ini. Untung sampahnya kering, baju dan kerudungku cuma kotor sedikit. Bayangkan kalau sampahnya basah, bau, berlendir dan berbelatung ... Lalu mengerubungi pakaianku iiihhh tidakk!!
"Hai!"
Haa! Aku sontak terperanjat mendengar sapaan seseorang yang tiba-tiba muncul di hadapan mukaku. Dia si pemulung itu.
"Bikin kaget ko!" gerutuku kesal.
"Maaf ya, Dek," ucapnya santun.
Haa? Adik? Emang aku adikmu apa?!