“Hugo?” Nina mengernyitkan dahinya ketika melihat Hugolah yang mengetuk pintu kamar kosnya pagi itu. Setengah heran, setengah lagi karena silau. “Pagi banget. Mau ngapain?”
“Mau sarapan?” laki-laki itu mengacungkan kantong plastik sambil tersenyum lebar. Jelas-jelas laki-laki itu belum mandi. Matanya yang kecil dan menyipit seperti daun terlihat agak bengkak.
“Semalem kamu langsung tidur gak pas abis pamit?” Nina membuka pintu kamarnya lebih lebar dan menyilakan Hugo masuk.
“Main hape dulu sebentar.” Hugo duduk di karpet kamar Nina tanpa sungkan dan menarik meja kecil ke hadapannya sementara ia sibuk mengeluarkan bungkusan bubur dari plastik sambil bersenandung pelan. “Mana mangkok?”
Nina menaruh dua mangkok dan dua sendok di hadapan Hugo dan memerhatikan laki-laki itu dengan takjub. Hugo dengan senyum riang menuangkan bubur ke atas mangkok dan menaburkan cakue, ayam suir dan kacang kedelai goreng di atasnya.
“Aduk?” Hugo menatap Nina.
“Sama aku aja,” jawab Nina sambil mengambil mangkoknya dengan segera. “Kamu bilang-bilang dong kalau mau datang. Aku belum mandi.” Nina berusaha menutupi wajahnya dengan tudung jaketnya.
“Cantik.”
“Berisik.”
“Ileran juga tetep cantik.”
“Keluar.”
“Enggak! Bohong!”
“Bohong aku cantik?”
“Bohong kamu ileran.”
Hugo nyengir dan kembali sibuk dengan buburnya sementara Nina menahan diri untuk tidak menjambak rambut Hugo yang hitam legam dan kembali menyuap buburnya.
“Aku serius, Hugo. Kamu harusnya bilang-bilang kalau mau datang.” Nina memulai kembali aksi protesnya.
“Emang salah aku pengen liat muka kamu dari pagi?”