Nina berjalan menuju kampusnya, yang memang bisa ditempuhnya dengan lima belas menit jalan kaki, tak lama setelah sarapan. Ia masih kesal karena Hugo datang pagi-pagi dan menghancurkan moodnya dengan cara pergi begitu saja tanpa menyelesaikan masalah. Tapi, ya, memangnya masalah ini bisa diselesaikan hanya dengan duduk dan bicara dalam waktu singkat? Sepertinya memang tidak. Tetapi setidaknya, seharusnya, Hugo pergi dengan senyuman. Bukan dengan pemandagan punggung lebarnya yang kurus dan terkesan dingin.
Sesampainya di gedung fakultasnya, ia segera menuju ruangan multimedia yang berada agak di bawah tanah yang lembap dan dingin karena ia butuh kesunyian dan ketenangan untuk mengerjakan tugasnya. Hugo belum menghubunginya lagi dan ia tidak ingin menghubungi laki-laki itu lebih dulu. Nina harus menenggelamkan diri di bawah tanah yang susah sinyal.
“Hey, cewek cantik!”
Sebuah sapaan tidak Nina hiraukan.
“Sombong ih! Pasti udah punya pacar.”
Hhh…
“Pacarnya ganteng banget ya, sampai cuek gitu sama orang?”
Tiba-tiba bahunya dipeluk dan Nina, dengan gerak cepat, menepis tangan itu dan hampir menampar si pemeluk.
“Kares, ih!” Nina cemberut dan tetap menepis tangan Kares dari bahunya tanpa sadar.
“Jutek, ih, kamu. Pagi-pagi jangan jutek, nanti…”
“Nanti apa!”
“Nanti banyak yang suka. Kamu kan makin galak makin cantik, Candy.” Kares mencolek pipi Nina dengan genit membuat gadis itu pura-pura muntah dan semakin menjauhkan diri dari Kares.
“Pergii! Aku gak kenal sama kamu!” Nina memekik-mekik dramatis sambil berjalan masuk ke dalam ruang multimedia yang masih kosong.
“Jangan teriak-teriak! Nanti satpam nyangkanya aku ngapa-ngapain kamu, lho!” Kares menangkap Nina dan menariknya agar menghadapnya dengan jarak yang sangat dekat. “Kamu maunya diapa-apain, ya?”
Nina mendongak menatap Kares yang hari ini memang terlihat ganteng dengan kacamatanya dan rambutnya yang setengah basah. Ia terdiam menatap Kares yang tersenyum memandanginya. Nina tidak membantah bahwa Kares memang tampan. Tubuhnya kurus dan tinggi dengan otot tangan yang liat karena ia adalah atlet basket fakultas, juga jago potong kayu karena dia adalah mahasiswa jurusan desain produk yang sering menghabiskan waktu di bengkel. Kacamatanya membingkai matanya yang bulat dan terkesan ramah. Rambutnya yang setengah basah disisir rapi ke belakang dengan anak rambut kering yang berjatuhan di keningnya. Rambut Kares yang kali ini berwarna ungu itu semakin membuat pemuda itu terlihat menarik.
Tapi sejak pagi, sejak kemarin, sejak Hugo meciumnya dan menyatakan cintanya, di benaknya hanya ada nama Hugo dan seluruh diri Hugo.
Kares menunduk, mengecup bibir Nina sementara gadis itu hanya balas mencium pendek agar Kares tidak menciumya lebih lama dengan cara yang lebih intim. Entah kenapa ia merasa telah mengkhianati Hugo jika ia menerima kecupan Kares. Padahal, seharusnya, ciuman Hugo yang membuatnya merasa berdosa pada Kares.
“Aku mau ngerjain tugas,” ujar Nina pelan sambil mengusap bibir Kares, agak sedikit merengek.
“Tugasnya kok gak dikerjain di kosan?” Kares mengusap poni Nina ke atas.
“Tetangga sebelah baru putus, dia nangis semaleman, bikin aku parno gak bisa tidur,” ujar Nina masih dengan rengekan manis berharap Kares melepaskannya.
“Kenapa gak nelpon aku minta temenin?” tanya Kares sambil mengecup pipi Nina ringan.
“Kamu udah tidur, Sayang. Aku nelpon kamu gak diangkat.” Nina menusuk pipi Kares dengan jari telunjuknya dengan kesal.
“Oh itu kamu minta ditemenin? Maaf, maaf.” Kares tertawa.
Nina berhasil melepaskan dirinya dari Kares dan mengambil tempat duduk terdekat dan membuka tasnya, mengeluarkan laptopnya. Kares duduk di meja sebelahnya dan menyalakan seperangkat komputer multimedia kampus. Nina menopang dagunya sambil menunggu laptopnya menyala. Ia melirik Kares yang sekarang malah asyik mencari situs main game online.
Semalam, Hugo lah yang menemaninya sampai tidur. Begitu juga malam-malam sebelumnya. Hugo lah yang bersedia meneleponnya dan menemaninya jika ia merasa tidak nyaman atau takut. Kares? Kares sibuk. Mengurus ini itu karena dia adalah ketua angkatan, lalu tugas, atau kecapean.
“Kamu pagi-pagi ke kampus cuma mau main game?” tanya Nina sambil tertawa melihat pemuda itu malah membuka game online.
“Nemenin kamu, lah! Sambiill...” Kares nyengir.
“Kalau ketawan dosen aku pura-pura gak kenal kamu, ya.” Nina menopang kepalanya dengan tangannya.
“Hei, gimana akhirnya Hugo sama Bintan? Jadi ketemuan mereka?” Kares bertanya.
“Umm… ya, mungkin. Abis pulang kemarin dia gak cerita apa-apa lagi, sih.” Nina menggerakkan pen tabletnya dengan cepat sambil menjawab Kares pelan-pelan.
“Bilangin ke mereka, kalau berantem jangan bikin panik orang,” ujar Kares sambil tertawa.
“Tau, tuh! Lagaknya udah kaya mau bunuh diri,” sahut Nina lagi tanpa mengalihkan matanya dari layar laptop.
“Kenapa juga Hugo jadi kamu urusin, sobat kamu kan, cuma si Bintan,” ujar Kares lagi.
“Iya, ya…? Yaaa, otomatis aja sih, dia jadi sobat aku juga…”
Nina menatap layar laptopnya dan kata-kata Kares memang benar. Bintan adalah sahabatnya. Sahabatnya yang telah lama hilang, lebih tepatnya. Nina masih ingat, beberapa bulan yang lalu mereka bertemu kembali di sebuah reuni sekolah, di cafe yang tidak jauh dari kampusnya. Bintan dan Hugo.