Kares Abisana, kakak tingkatnya yang mendadak menjadi keseharian hidup Nina, yang telah membantunya mengalihkan pandangannya dari Hugo.
Nina tidak menjadikan Kares sebagai pelarian. Bukan sama sekali. Pada saat itu, bahkan ia tidak menyadari (belum menyadari) bahwa dirinya telah menyukai Hugo lebih dari sekedar teman. Kares bukanlah yang pertama kali datang, juga bukan yang kedua atau ketiga. Nina ingat, Hugo lah yang mengenalkannya pada teman-temannya untuk dijadikan pacar. Semuanya dimulai sejak pertemuan pertama mereka.
“Sori, gue lama ya?” tanya Bintan sewaktu dia kembali setelah hampir lebih dari satu jam dia menghilang bersama teman-temannya. Ia duduk di sebelah Hugo dan menyimpan gelas di hadapannya dengan wajah merah.
“Kamu minum ya?” Hugo menatap Bintan penuh selidik.
“Sedikit. Tapi Prianka bawa booze. Gak apa dong, sayang!” Bintan mengibaskan tangannya pada Hugo dengan tatapan jengkel.
“Lo gak bawa mobil sendiri, kan?” tanya Nina khawatir.
“Untungnya, mobil dia lagi di bengkel, gue yang anter dia tadi,” jawab Hugo sedikit terlihat jengkel. Nina juga mengerti mengapa Hugo jengkel, Bintan jelas-jelas tidak minum sedikit. Karena wajahnya merah dan dia mulai bicara dengan cara yang sangat menyebalkan.
“Gini, Nina. Masalah lo cuma satu,” Bintan tiba-tiba mencondongkan tubuhnya ke arah Nina. “Harusnya lo IKET cowok itu erat-erat!”
“Ha?” Nina mengernyitkan dahinya dan menatap Hugo dengan heran.
“Iya dong! Lo pasti belum ngapa-ngapain kan? Makanya dia bosen sama looo! Terlalu anak kecil lo, Chan!” Bintan terkikik senang.
“Woow.” Hugo menarik gelas di tangan Bintan dan menyimpannya di atas meja. “Yak! Pulang aja.”
“Ya, pulang aja mendingan. Lo kebanyakan minum, Tan. Padahal udah bagus di sini gak disediain minuman keras,” gerutu Nina sambil mendelik ke arah Prianka yang ia yakini membawa botol sendiri untuk menampung minuman keras yang dibagikan pada teman-teman satu kastanya.
“IKET! IKET!” Bintan berteriak-teriak sambil mengacungkan tangannya seperti orang demo.
“Sini, gue bantuin, Go. Kayaknya dia emang udah gak jelas banget, deh!” Nina bangkit dari duduknya dan menuntun Bintan di sisi lain Hugo.
Mereka berjalan bertiga menuju mobil Hugo dengan serabutan karena Bintan yang terus-terusan berteriak, memberikan Nina nasehat-nasehat yang bersifat ‘dewasa’, membuat mereka terburu-buru karena malu.
Ketika Hugo membaringkan Bintan di jok belakang, Bintan menarik Hugo dengan segera dan meregek seperti anak kecil minta ditemani. Ia menjerit-jerit setiap Hugo beranjak dari sisinya.
“Yang, aku harus nyetir,” Hugo membujuk Bintan tapi gadis mabuk itu terlalu mabuk untuk diajak kompromi.
“Gue yang nyetir aja gimana, Go?” Nina menawarkan.