Sekali lagi kamar kosnya berantakan seperti kapal pecah. Dan kali ini benar-benar ada yang pecah. Sebuah wadah lilin wangi milik Bintan yang dibawanya untuk menghiasi kamar kosnya dengan alasan kamar kos Hugo ‘bau cowok’. Hugo membuka kaos hitamnya dan berdiri di depan cermin. Ah, lihatlah betapa banyaknya bekas itu di tubuhnya. Ia memakai lagi baju hitamnya dan mulai membenahi barang-barangnya yang berjatuhan dari meja dan lemari. Buku-buku, alat tulis, kaleng alat tulis, laci-laci tempat klip kertas dan isi stapler, semua ia bersihkan dengan telaten dan hati-hati.
Ia membungkus bekas pecahan kaca dari tempat lilin Bintan dan bersyukur benda itu rusak. Itu adalah barang milik Bintan yang paling ingin disingkirkannya. Wangi lilin itu terlalu mengingatkannya pada gadis itu sementara ia hanya menginginkan Chandlina saat ini. Setelah bungkusan koran bekas itu telah aman membalut serpihan kaca, Hugo pun duduk di atas kasurnya sambil menatap ke sekeliling ruangan.
Dua hari yang lalu, ia masih ingat. Ketika ia baru saja memasukkan kaos terakhir dari kopernya ke dalam lemari, sebuah ketukan buru-buru dari pintu kamarnya terdengar. Nina berdiri di sana dengan tampang kusut dan ia melihat gadis itu terlihat lega melihatnya. Rambut cokelatnya yang dikuncir satu di belakang dan acak-acakan, kemeja putihnya yang kebesaran membungkus tubuh rampingnya, tas yang menggantung di bahu kirinya, pipinya yang memerah karena kepanasan dan dahinya yang basah karena keringat… Hugo bisa saja terus menyebutkan detil penampakan Nina hari itu. Bagaimana bibirnya yang dibubuhi pemerah yang seperti air, membuat bibirnya terlihat begitu lembut dan kenyal. Bibir itu mengomelinya.
“Hugo! Lo kemana aja sih! Lo tau gak gue nyariin lo setengah mati! Dan Bintan juga ikutan ilang! Lo tau gak apa yang ada di berita akhir-akhir ini? HAH!”
Nina memasuki kamarnya dan mendorong-dorong Hugo dengan gemas.
“Eh.. Nina, apaan… kenapa lo?” hanya itu yang keluar dari bibir Hugo.
“SMS gue gak bales. Chat cuma ceklis satu. Gue telpon hp lo gak aktif!” Nina memekik jengkel memukul lengan Hugo setiap poin yang disebutkan gadis mungil itu.
“Gue… gue cuma balik sebentar ke…”
“Duuh! Apa salahnya kabarin, sih!” Nina meneruskan memukul-mukul Hugo dengan gemas. “Lo tau gak gue takut ke kosan lo! Gue takut ke kosan Bintan! Lo tau gak beritanya sekarang banyak yang… ah! Tau, ah!”
Nina menatap Hugo dengan geram dan segera berbalik dengan cepat menjauhi Hugo dan meraih pintu.
“Tunggu. Gue salah apa?” Hugo menahan Nina dan berusaha membuat gadis itu menatapnya.
“SALAH APA?” Nina menghempaskan tangan Hugo. “Lo abis berantem sama Bintan! Dan lo ngilang! Bintan ngilang! Lo tau gak sih gue cemas? Gimana kalau lo… apa kek! Mati. Bintan juga!”
“Sori banget, Nina. Gue udah baikan sama Bintan.” Hugo berusaha menjelaskan tapi Nina hanya mendeliknya jengkel. “Tapi resikonya, HP gue dia banting dan rusak. HP Bintan juga sama, rusak. Trus gue emang ada rencana balik kemarin, belum sempet kabarin soalnya HP gue rusak. Bintan juga kan tau sendiri dia kalau berantem sama gue kebiasaannya suka ngilang gak tau ke mana.”
Nina mendengus kesal dengan napas yang sudah ngos-ngosan karena telah memarahi Hugo sedemekian rupa. Ia mendelik Hugo dan akhirnya mata bulat yang besar itu berkaca-kaca.
“Gue khawatir tau…” ujar Nina sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan. “Kalian berdua bisa gak sih, jangan bikin panik kalau berantem.”
Dari suaranya Hugo bisa mendengar ada getaran, gadis di hadapannya menahan tangis. Hugo hanya mengusap-usap bahu Nina dengan pelan dan meminta maaf berkali-kali. Ketika Nina mengangkat wajahnya dari tangannya, matanya yang besar itu sembab dan memerah, begitu pula dengan hidungnya. Bibirnya digigit dengan keras sehingga ia bisa melihat tapak gigi kelinci gadis itu di sana.
Tanpa sadar, Hugo meraih leher Nina, menariknya mendekat dengan sekali hentak. Direngkuhnya pinggang gadis itu dan dilahapnya bibir merah itu dengan haus. Ia tidak peduli bahkan jika Nina mendorongnya dan menamparnya. Tetapi alih-alih menampar, tangan-tangan kecil itu merayap memeluk lehernya, bibir kecil gadis itu balas menggigit bibir Hugo dan deru napasnya menerpa wajah Hugo.
Hugo memeluk pinggang Nina dan membawanya lebih dekat dalam dekapannya tepat ketika suara ponsel berbunyi nyaring. Tas Nina yang masih ada di bahunya bergetar sehingga mengagetkan mereka berdua.
Nina melepaskan ciumannya dan dengan napas terengah meraih ponselnya. Nama Kares tertera di layar ponsel gadis itu dan Hugo segera menjauh, menenangkan dadanya yang berdebar kencang dan panas. Napasnya menderu dan ia segera mencari air minum. Sambil meredakan napasnya, ia meminum air mineral dari lemari esnya dan melirik Nina yang sedang berbicara dengan nada biasa pada ponselnya.
“Ada nih! Dasar ya, mereka itu.” Nina mendekati Hugo dan menyodorkan ponselnya ke wajah Hugo. “Kares nih, Go.”
Hugo mengatur napasnya sesaat lalu menerima ponsel Nina lalu menyapa Kares di seberang telepon.