Chandlina

Al Szi
Chapter #7

Enam

Lagi-lagi telfonnya tidak diangkat.

Hugo menatap layar ponselnya dengan kesal seakan-akan itu kesalahannya. Padahal ponselnya baru (so what?). Ia mengembuskan napas dengan kesal dan meraih saku jaketnya, mengeluarkan bungkus rokok dan koreknya. Ia sedang duduk di tangga dekat gedung fakultasnya menunggu jam kuliah yang akan berlangsung 10 menit lagi, dan sebungkus rokok dan korek itu malah mengingatkannya pada Nina (untuk yang kesekian kalinya).

“Hugo lo jangan ngerokok dulu ya?” Nina mengingatkan ketika Hugo baru saja mengeluarkan sekotak rokoknya dari dalam saku jaketnya.

“Duh, satu deh, Nin.” Hugo nyengir.

“Di luar deh, jangan di sini,” sahut Nina pelan.

“Duuh, Nina, biarin aja deehhh. Hugo bosen noh, pengen racunin diri dari tadi.” Bintan tertawa sambil meraih kentang goreng di hadapannya dan melirik Hugo dengan iseng. Memang mereka paling nurut sama Nina.

“Lagian ini semua smoking area kok,” ujar Hugo.

“Tapi meja sebelah kita ada bayi,” kata Nina sambil melirik meja sebelah di mana sebuah keluarga kecil sedang makan dan seorang bayi lucu sedang disuapi makan oleh ibunya. “Kasian.”

Sejak saat itu ia selalu berhati-hati jika ingin merokok di tempat umum. Nina yang selalu mengingatkan. Jangan merokok sembarangan, karena udara bersih adalah hak masing-masing manusia. Dan Nina juga yang membuatnya sudah lama tidak merokok semenjak ia tahu ternyata gadis itu membenci asap rokok.

Sambil mendengus ia mengembalikan bungkusan rokok itu ke dalam saku jaketnya. Entah sejak kapan ia sudah jarang sekali merokok. Bungkus rokok yang ada di sakunya adalah sisa beberapa minggu yang lalu, masih tersisa banyak.

“Masuk, Go!”

Hugo mendongak dan mendapati teman sekelasnya berjalan menuruni tangga di sebelahnya. Ia bangkit dari duduknya dan seakan baru ingat ia merogoh saku jaketnya dan mengulurkan bungkus rokok beserta pemantiknya pada temannya yang baru saja menyapa.

Naon?” ujar pemuda itu heran karena sudah jelas di kampus mereka ada peraturan dilarang merokok.

“Buat lo aja.” Hugo menyodokkan tangannya ke arah perut lawan bicaranya.

“Wiiih! Rokok impor ini! Kenapa? Kedaluwarsa jangan-jangan!”

“Gue udah gak ngerokok.”

Hugo berjalan beriringan menuju kelas dan tersenyum puas pada dirinya sendiri. Satu langkah maju menuju Chandlina, ia harus mengubah dirinya.

Hugo berbaring di kamar kosannya dengan hati gelisah. Ia menatap kembali ponselnya yang sepi dari Chandlina. Bahkan ia telah melakukan hal paling tolol dengan cara memblok semua nomor gadis-gadis yang selalu berusaha mendekatinya hanya karena mereka terlalu berisik, dan Hugo selalu kecewa melihat lagi-lagi bukan chat dari Nina.

Sekali lagi ia menelepon Nina, entah untuk yang kesepuluh atau bahkan dua puluh ia tak ingat. Yang diingat Hugo hanya perasaan rindunya pada gadis mungil itu. Tapi kenapa mendadak sekali hari ini ia tidak bisa dihubungi? Tidak mungkin Kares melakukan hal aneh-aneh pada Nina ketika gadis itu meminta putus, kan? Kares bukanlah pria seperti itu.

Atau jangan-jangan Nina belum memutuskan Kares?

Hugo menghentikan usahanya menelepon Nina. Ia menghela napas. Mungkin memang akan sulit memutuskan Kares, karena pemuda itu memang sangat baik pada Nina. Saking manisnya Kares pada Nina, sesekali Hugo ingin sekali menonjok pria itu karena telah berada di sebelah Nina.

“Lo pasti sama Kares?” tanya Hugo retoris. Tentu saja tak usah ditanya lagi, karena Nina sekarang satu paket dengan Kares. Kunjungannya ke kampus Nina menemani Bintan akhir-akhir ini sangat menjengkelkan karena Nina sudah punya monyet yang menempel selalu di sebelahnya.

Lihat selengkapnya