Nina memandang lurus-lurus pada sosok Hugo yang telah menunggunya di gerbang depan fakultasnya. Pemuda itu duduk bersandar di sebuah tiang batu yang seharusnya menjadi tempat untuk memajang karya di depan Galeri Soemardja. Kedua tangannya terlipat rapi di depan dadanya dan matanya seperti elang mengamati semua orang yang lewat.
Ketika Hugo menangkap tatapan Nina ia segera berdiri tegak. Nina, yang tidak bisa mengelak karena ia dan teman-teman sejurusannya tengah melakukan perjalanan menuju gelap nyawang untuk makan siang, melanjutkan langkahnya menuju Hugo. Ia berhenti di hadapan Hugo dan teman-temannya pun ikut berhenti dengan heran. Mereka semua terpana menatap pemuda yang tingginya membuat leher sakit itu hanya terdiam menatap Nina.
“Umm… kalian duluan, deh.” Nina akhirnya mengalah.
“O… ke, duluan ya, nanti nyusul,” ujar Hani salah satu teman terdekat Nina di kampus. Hani menoleh sekali lagi padanya ketika sudah berada di belakang Hugo dan gadis itu mengacungkan jempol sambil nyengir pada Nina.
Nina mengalihkan matanya ketika ia merasa tatapan Hugo terlalu menusuknya. Ia yakin, pemuda itu pasti masih menatapnya dengan tajam dan ia tidak kuasa membalas tatapan itu tanpa merasa sakit hati.
“Kenapa?” tanya Nina ketika akhirnya ia merasa mereka tampak sangat konyol sekali berdiri berhadapan tapi tidak saling bicara, di tempat umum pula.
“Aku cuma kangen,” jawab Hugo datar. “Tapi kamunya enggak.”
Nina menghela napas, menahan dadanya yang kini mulai terasa sesak dan panas. Sekali saja ia membuka mulut untuk membalas kata-kata Hugo, ia yakin pasti ia akan menangis.
“Aku terlalu percaya kamu,” ujar Hugo lagi tanpa peduli apakah Nina mau mendengar atau tidak. “Aku ngasih semuanya untuk kamu, dan kamu buang gitu aja cuma gara-gara omongan gak jelas dari Bintan.”
“Gak jelas? Coba bilang, berapa cewek yang kamu mainin sejak kamu masuk kuliah?” balas Nina akhirnya.
“Aku tanya, apa itu penting?” tanya Hugo.
“Penting. Setidaknya untuk aku.”
“Sekarang itu penting? Kamu ketemu aku sekarang, Chandlina. Bukan dulu, bukan setahun yang lalu, bukan dua atau tiga tahun yang lalu.”
“Aku harus tau kamu, Hugo, sebelum aku memutuskan aku mau ngasih hati aku untuk kamu jaga. Dan aku tau, sepertinya aku gak bisa lagi,” ujar Nina dengan bibir bergetar. Ia berhenti dan segera meninggalkan Hugo. Nina tidak ingin dikejar, karena ia tidak ingin terlihat meneteskan air mata untuk pria itu.
Semenjak kedatangan Hugo ke kampusnya beberapa hari yang lalu, pemuda itu berhenti mengganggunya. Nina tidak tahu mana yang lebih baik, apakah Hugo yang memperjuangkan mendapatkannya atau Hugo yang akhirnya menyerah untuknya. Yang jelas, kini ia sering menangis sendirian jika mengingat betapa malam-malamnya dulu selalu ditemani oleh Hugo yang entah kenapa bisa selalu terbebas dari Bintan. Ia tidak tahu mana yang lebih buruk, hidup tanpa Hugo yang artinya lepas dari kecemasan akankah pemuda itu akan melakukan hal yang sama seperti yang dilakukannya pada Bintan? Atau hidup dengan Hugo, yang artinya ia harus siap untuk patah hati?
Enggak, Nina. Hugo itu kasar. He’s abusive and playboy. Lupakan.
Setidaknya mantra itu selalu membuatnya kuat hati untuk tidak memikirkan kembali pemuda itu dengan kenangan indah yang membuatnya merindukan kehadirannya.
Ketika Nina baru saja mengusap air mata terakhirnya, terdengar suara ketukan di pintu kamarnya dan suara Bintan yang memanggil-manggilnya dengan tidak sabar. Nina menghela napas pendek. Entah kenapa kehadiran Bintan saat ini membuatnya merasa sangat terbebani. Ia membuka kunci kamarnya dan tanpa dipersilakan Bintan membuka pintu kamarnya dan menyerbu masuk.
Nina menatap sahabatnya dengan heran sambil menutup pintu kamarnya. Wajah Bintan sembab dan hidungnya merah. Bintan berjalan mondar-mandir sambil menopangkan tangannya di pinggang dan yang sebelah lagi memegang jidatnya. Ini pemandangan yang sedikit lucu, karena dengan kamar kosan Nina yang tidak terlalu besar, Bintan malah terlihat sedang joget poco-poco.
“Kenapa sih, lo? Ngagetin. Jam berapa coba ini?” Nina tertawa sambil duduk di kasurnya dengan nyaman. Ia meraih bukunya dari meja nakas putih kecil di samping kasurnya dan memeluknya di depan dada.
“Hugo,” gumam Bintan tidak jelas.