“Hei Chandlina,” Hugo menghampiri Nina yang sedang membereskan buku-bukunya di atas meja ke dalam tas. Ia tahu, Nina akan jadi yang terakhir berada di kelasnya karena dia pasti akan sibuk membersihkan kolong mejanya sebelum pulang.
“Eh, hei, Go. Kenapa?” Nina menutup sleting tasnya dan menatap Hugo dengan senyumannya yang ramah.
“Kamu mau ke Pak Jamjam sekarang gak?” tanya Hugo sambil menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Kata Agi kamu juga ilang komponen jadi gak bisa beresin tugas buat besok.”
“Oh, ya ampun iya!” Nina menepuk jidatnya. “Gimana ya, kalau disuruh beli yang baru hari ini juga gak mungkin bisa selesai besok.”
“Idih, kayak gak kenal aja. Dia mah gampang, tinggal kasih sebungkus rokok aja nilainya minimal 7 mah dapet laaah!” Hugo tertawa sambil mengibas-ngibaskan tangannya seakan mengusir lalat.
“Parah ih!” Nina tertawa dan meraih tasnya dan berjalan keluar kelas.
Hugo mengikuti gadis itu berjalan keluar dan menelusuri selasar sekolah sambil berbicara. Ia menatap Nina yang sedang antusias membicarakan komponennya yang hilang, bagian yang sangat kecil yang kalau jatuh hanya malaikat yang tahu di mana benda itu berada. Setiap lekuk wajah gadis di hadapannya diperhatikannya dengan teliti. Cantik.
“Kalau kamu bagian mana yang ilang?” tanya Nina sambil menyentuh ringan lengan Hugo.
“Eh,” Hugo memutar otaknya. “Itu, yang kecil juga.”
“Nah, sama kan?” Nina kembali mengoceh tentang betapa susah sekali tugas mereka kali ini dan melibatkan banyak komponen kecil-kecil.
Hugo tersenyum menatap Nina. Ia bohong. Komponennya tidak hilang. Bahkan ia sudah selesai mengerjakannya walau tidak sempurna. Ia tahu dari Agi kalau Nina sedang mencari tahu siapa tahu ada yang kelebihan komponen kalau-kalau Nina boleh minta karena miliknya hilang. Ia hanya ingin menghabiskan waktu sepulang sekolah berdua dengannya, karena untuk pertama kalinya Nina tidak punya pacar setelah putus dengan pacarnya yang sudah sejak kelas satu itu.
Pacaran awet banget, ish! Masa baru sekarang putus!
“Chan, beli rokok dulu aja sebelum ketemu, biar urusan langsung kelar,” usul Hugo menahan lengan Nina yang sudah hampir saja mengetuk pintu kelas Pak Jamjam.
“Tapi di sekitar sekolah gak ada yang jual, Go.” Nina protes.
“Yuk, kita cari dulu di luar sekolah.” Hugo menarik tangan Nina dan gadis itu pun menurut dan mengikutinya berjalan menelusuri selasar sekolah sekali lagi menuju gerbang sekolah.
“Duuuh, Hugo kenapa enggak bilang dari tadi sih? Kan jadi bolak balik!” omel Nina sambil berjalan cepat keluar gerbang.
“Santai aja, ih! Kayak dikejar setan.” Hugo menarik tas Nina agar gadis itu berjalan di sebelahnya.
“Kalau keburu sore Pak Jamjamnya keburu pulang, Hugoooo!” Nina menarik tangan Hugo dan menyeretnya agar berjalan lebih cepat.
Mereka berjalan menuju mini market yang ada di ujung jalan dan membeli dua bungkus rokok. Dengan jengkel Nina membayar rokok itu dan wajahnya tetap cemberut ketika mereka berjalan kembali ke sekolah.
“Kenapa sih? Masih ngambek ya aku ajak pergi tadi?” Hugo menepuk kepala Nina pelan.
“Bukan!” Nina mendengus. “Aku buang-buang uang untuk dibakarin!”
Lalu Hugo kembali menikmati alunan suara Nina dan wajahnya yang judes ketika menceramahinya betapa rokok tidak baik untuk kesehatan si pelaku mau pun orang yang tidak melakukannya tapi ada di sekitar si pelaku. Gadis itu paling cantik kalau sedang marah, memang.
Dan ketika mereka menghadap guru mereka dengan ucapan manis dan ‘hadiah’, akhirnya mereka diberikan keringanan. Asalkan semua tempatnya benar, walau pun alat yang mereka rakit tidak berjalan dengan baik dan benar, mereka akan tetap diberi nilai yang baik. Nina dan Hugo berterimakasih dan mereka keluar dari ruang kelas ketika jam sudah menunjukkan pukul empat sore.