Sudah lebih dari 3 hari ini Hugo merasa Bintan semakin gila. Sejak Nina mengganti nomornya, telepon dengan nomor asing, bahkan nomor yang disembunyikan, mulai meneleponnya tanpa henti. Ia memang tidak bisa disentuh di kampus, dan Bintan pun tidak akan mungkin mencari ribut di kampus sendiri. Tetapi teror itu muncul di kosan Hugo. Entah sudah berapa kali teman-temannya melaporkan Bintan yang datang sendiri, mau pun dengan dayang-dayangnya, dengan berbagai strategi berusaha menembus benteng pertahanan Hugo.
Nina yang sudah mempunyai firasat mulai menginterogasi Hugo tentang Bintan. Apakah Bintan mulai melakukan hal yang lebih ekstrem demi menuntut tanggung jawab? Apakah Hugo sudah mengunci semua akun sosial media yang dimilikinya? Apakah ada kemungkinan Bintan akan mengumumkan kehamilannya di internet untuk menghancurkan hidup Hugo? Karena mungkin aja itu bisa terjadi.
Tetapi Hugo yakin itu tidak akan terjadi karena ayah Bintan adalah salah satu pengusaha sukses yang dekat dengan pejabat kota. Tidak mungkin ia melakukan hal gegabah seperti itu karena taruhannya adalah masa depan ayahnya dan seluruh keluarga Bintan.
Ketika ia keluar dari perpustakaan fakultas hukum, tiba-tiba ia dihadang oleh dua teman Bintan. Hugo tidak tahu kalau mereka sampai nekad membuat keributan di kampus. Tetapi sebelum ia bisa menyingkirkan kedua dayang-dayang Bintan, tiba-tiba seorang wanita berjalan perlahan menghampiri. Ia ingat wanita itu. Dengan rambut yang sudah mulai abu-abu, digelung ketat ke atas, wanita itu menelengkan kepalanya menatap Hugo. Tubuhnya yang ramping berdiri di hadapan Hugo dengan percaya diri walau pun beliau hanya setinggi bahu Hugo.
“Halo, Hugo. Lama gak main ke rumah?” sapa wanita itu dengan senyuman manis yang terlalu manis.
“Halo... tante.”