“Hugo,” Nina terengah-engah kehabisan napas.
“Ya?”
“Aku tau gimana caranya buktiin kalau Bintan mungkin hamil anak Felix!”
“Sebentar, kamu lagi apa sih? Kok ngos-ngosan?” Hugo tertawa di ujung telepon.
“Haha. Aku lagi jalan ke kosan kamu. Nanjak.” Nina menghembuskan napas panjang.
“Ya ampun! Kenapa sih, gak bilang? Kan bisa aku jemput!” Hugo tertawa lagi. “Tunggu di situ, deh! Aku jemput.”
“Ngapain? Ini kan udah deket. Ribet amat kamu harus ngeluarin mobil,” protes Nina sambil berjalan mundur. Menurut teori, berjalan mundur mengurangi rasa lelah ketika berjalan di jalan yang menanjak. Teori yang tidak pernah terbukti secara klinis.
“Siapa juga yang mau jemput kamu pake mobil? Ge-er, deh! Aku jalan ke situ.”
“Kalau kamu jemput jalan kaki, tetep aja ke kosan kamu harus jalan. Apa bedanya? Tetep cape, ih!” Nina tertawa sambil tetap terengah-engah. Jalan mundur ini tidak terlalu berguna ternyata, tapi setidaknya pemandangannya berubah. “Capenya nambah, nanti kamu cape, aku cape. Kamu tau gak, Go? Jadi orang itu harus efisien, jangan boros. Ini sama aja kayak boros energi. Denger gak, ih?”
“Denger. Kamu bawel banget ya?” Hugo menepuk pelan kepala Nina dari belakang, sementara gadis itu terlonjak dan menoleh.
“Ya ampuunn! Dari tadi aku ngomong kamu udah ada di belakang? Kata aku juga apa? Jangan boros, Hugo! Aku kan jadi buang-bu...”
“Aduuuhhh kenapa ya aku kok sayang banget sama kamu? Sampe liat ginian aja malah lucu?” Hugo mengatup wajah Nina dengan tangannya yang besar membuat bibir Nina seperti ikan kembung dan otomatis omelannya berhenti.
“Still not your girlfriend!” Nina melotot galak tapi malah disambut tawa Hugo lagi.
“Yea... but I still love you, anyway,” Hugo memutar-mutar telapak tangannya yang masih menempel di pipi Nina.
“Wah, wah, wah! Mesra banget ya?” Tiba-tiba sebuah suara menyapa mereka. “Mendingan putus dari sekarang, deh, dari pada nanti lo dibilang tukang pacaran sama suami orang.”
Nina dan Hugo menoleh dan mendapati Bintan baru saja keluar dari mobilnya dan menghampiri mereka berdua.
“Gue gak marah, kok,” ujar Bintan sambil menatap Hugo dan mengusap pipinya. “Waktu emang tinggal sedikit untuk bareng sama dia, jadi puas-puasin. Gue tunggu di kamar lo.”
Bintan melenggang masuk ke gerbang kosan Hugo dengan santai sementara Nina dan Hugo masih terpaku, terpana dengan kelakuan Bintan yang mulai gila. Nina menahan diri untuk tidak menyerbu masuk ke kosan Hugo dan menjambak rambut gadis gila itu dan menyeretnya keluar. Ia menghela napas panjang, berusaha tegar walau pun ada perasaan ngilu di dadanya.
“Aku udah cerita kan, Maminya datang, aku bilang aku bukan ayah dari anaknya Bintan, Maminya marah tapi nahan diri terus pergi?” Hugo berdiri rikuh.
“Iya,” jawab Nina sambil menatap Hugo dengan sedih. Ia selalu berharap bisa menemukan cinta dengan cara yang normal dan sederhana, seperti dirinya dan Kares. Tetapi kenapa Hugo tetap yang paling menggetarkan hatinya?
“Tapi dia delusional atau apalah, aku gak ngerti juga. Aku udah punya...”
“Aku punya rencana.”
“Eh?” “Eh?”
Mereka saling bertatapan dan tertawa pelan bersama.
“Yuk, kita samperin dia. Selama ini kamu gerak sendiri, aku gerak sendiri, jelas Bintan jadi lebih kuat. Kalau kita hadapin berdua pasti bisa kalahin dia.” Nina meraih tangan Hugo dan menariknya masuk ke kosan Hugo.
Ketika Nina dan Hugo membuka pintu kamar Hugo, Bintan sedang duduk santai di atas kasur Hugo. Sample kartu undangan bertebaran di atas sana dan Bintan sendiri sedang melihat-lihat salah satu kartu itu. Gadis itu menoleh dan tersenyum tenang, seakan-akan Nina tidak ada di sana.
“Mami udah gue bilangin, lo cuma pingin lari dari tanggung jawab,” ujar Bintan santai sambil menyimpan salah satu kartu dan mengambil yang lain. “Mami ngambek sih, katanya lelaki macam apa kamu. Tapi gue bilang gue bisa meyakinkan lo dan Mami gak usah pusing. Lo pasti tanggung jawab, ya kan?”
“Tan...” Hugo maju dan memulai tapi Nina menghentikannya.
“Tan, lo dateng di acara pensi anak-anak ekonomi di kampus lo?” tanya Nina manis sambil mengeluarkan ponselnya.
“Sure. Gue anak gaul dan populer, gak kayak lo.” Bintan mendengus mengejek sementara Nina menahan diri agar tidak menimpuk Bintan dengan sepatu Hugo yang sebesar kapal pesiar.