Bandung, 1953. Julukan Parijs van Java masih erat melekat pada kota ini. Udaranya sejuk dan nyaman. Embun pagi, setiap hari, menyapa penduduknya dengan ramah. Pohon-pohon mahoni yang tinggi besar dengan gagah berjajar di tepi jalanjalan seantero Bandung Utara. Meneduhi orang-orang yang berjalan atau bersepeda di bawahnya. Bunga kana (canna lily) warna-warni menyembul di antaranya, membuat kota ini tambah cantik dan semarak.
Saat itu usiaku hampir lima tahun. Aku terbangun pagi itu. Walaupun badanku masih demam, aku bisa merasakan dinginnya udara pagi menyelinap dari kisi-kisi jaluzi jendela kamar. Sayup-sayup terdengar suara azan subuh. Kulihat ibuku duduk di sampingku. Aku agak heran, matanya sembap seperti habis menangis. Diusapnya kepalaku dan berkata, “Panas badanmu sudah mulai turun, tapi cobalah tidur lagi.” Memang, telah hampir seminggu ini aku demam tinggi. Tapi, pikirku ini seperti sakit-sakit sebelumnya. Beberapa hari demam, batuk, pilek, kemudian sembuh dan aku bisa bermainmain lagi. Pada zaman itu, anak seusiaku tidak sekolah TK, playgroup, atau sejenisnya seperti sekarang ini. Hari-hari kami hanya diisi dengan bermain dan bermain.
Lebih-kurang seminggu sebelumnya, aku, kedua kakakku, dan beberapa anak dokter lainnya berenang dan bermain di kolam renang milik PMI (Palang Merah Indonesia) di Jalan Dago Atas. Kolam renang itu tempat favorit kami karena halamannya luas sehingga selain berenang, kami bisa bermain dan berlarilarian dengan bebas. Kolam renang ini bukan untuk umum, biasanya hanya dikunjungi oleh keluarga dokter dan keluarga petugas PMI. Saat ini kolam renangnya sudah tidak ada. Di atasnya dibangun Masjid Nurul Fikri, di daerah Bukit Dago, Bandung Utara.
Sebenarnya kami sudah sering berenang di kolam itu, tetapi pada minggu itu, tiga anak lain seusiaku terserang demam tinggi seperti yang kualami. Seorang anak dokter dari Cimahi, seorang anak petugas PMI, dan seorang anak dokter berkebangsaan Belanda (saat itu masih banyak dokter berkebangsaan Belanda di Bandung). Memang, aku merasa agak heran kenapa kali ini demamku lebih lama dari biasanya. Kali ini badanku sangat lemah dan lesu. Tidak heran selama seminggu ini banyak dokter sejawat ibuku datang menengok. Dr. Poortman dan dr. De Raat dua sejawat ibuku, berkebangsaan Belanda, sering berbicara serius dengan ibuku setelah secara teliti memeriksaku. Mereka berbicara dalam bahasa Belanda sehingga aku tidak mengerti. Belum lagi dr. Sim Kie Ay, sejawat ibuku dan tetangga kami di Jalan Ciujung, Bandung. Beliau hampir setiap hari berkunjung. Pada akhirnya, mereka berkesimpulan bahwa aku menderita penyakit yang pada 1953 belum dikenal dengan baik, yaitu penyakit layu otot atau polio (poliomielitis). Ternyata ketiga anak lain yang menderita demam tinggi seperti aku, terjangkit penyakit yang sama.
Penyakit polio disebabkan oleh poliovirus. Virus ini menyerang sumsum tulang belakang dan merusak saraf tulang belakang sehingga dapat menyebabkan kelumpuhan, biasanya tungkai atau lengan, bahkan dapat menyerang otak dan menyebabkan kelumpuhan otot-otot pernapasan yang berujung pada kematian. Virus akan menyerang sistem saraf dan kelumpuhan dapat terjadi dalam hitungan jam. Polio menyerang tanpa mengenal usia, walaupun lima puluh persen kasus terjadi pada anak berusia antara 3 hingga 5 tahun. Polio menular dan dikategorikan sebagai penyakit peradaban. Penularannya melalui hubungan antarmanusia. Dapat menyebar luas dengan diam-diam karena sebagian besar penderita yang terinfeksi poliovirus tidak memiliki gejala sehingga tidak tahu sedang terjangkit. Virus masuk tubuh melalui mulut ketika seseorang mengonsumsi makanan atau minuman yang tertular virus. Sebagaimana sebagian besar penyakit virus lainnya, sampai saat ini belum ditemukan obat untuk polio.
Sebenarnya penyakit polio sudah dikenal sejak zaman prasejarah. Lukisan dinding di kuil-kuil Mesir kuno menggambarkan orang-orang sehat dengan kaki layu yang berjalan menggunakan tongkat. Kaisar Romawi Claudius terserang polio ketika masih kanak-kanak dan menjadi pincang seumur hidupnya.
Yang terjadi pada kami mungkin kasus-kasus polio yang pertama-tama tercatat di Bandung. Diduga kami terjangkit penyakit ini ketika berenang di kolam renang, lalu tak sengaja minum air yang telah tertular oleh virus ini. Mengapa anak lain yang juga berenang di kolam yang sama tidak terjangkit? Karena mereka lebih tua dari kami. Daya tahan tubuh mereka lebih baik untuk mengatasi serangan virus. Anak-anak kecil yang terkena polio sering kali hanya mengalami gejala ringan dan menjadi kebal terhadap polio. Kami anak-anak dokter yang terbiasa dengan sanitasi yang lebih baik menjadi lebih mudah terinfeksi, karena belum pernah terpapar terhadap virus ini sehingga belum ada kekebalannya. Adapun kedua kakakku atau anak-anak yang lebih besar mempunyai daya tahan yang lebih baik. Temanku, anak petugas PMI, akhirnya meninggal dunia disebabkan kelumpuhan otot-otot pernapasan. Usianya lebih muda dariku.
Aku dapat merasakan kesedihan dan kepedihan hati ibuku. Beliau saat itu sudah menjadi seorang dokter terkemuka di Kota Bandung. Pasiennya dapat mencapai puluhan, bahkan kadang-kadang ratusan per hari.
Kebanyakan di antaranya anak-anak. Beliau, yang biasanya mengobati anak-anak lain, menjadi tidak berdaya ketika anaknya sendiri terserang penyakit virus yang menyebabkan kelumpuhan permanen, poliomielitis.
Sejak lahir sampai terjadinya peristiwa ini, aku adalah anak yang sehat dan ceria. Mungkin ini sudah menjadi suratan tak- dir bagiku dan ibuku. Pada 1953 belum ditemukan vaksinasi untuk penyakit ini. Vaksin polio baru ditemukan oleh dr. Jonas Salk pada 1955 dan diperbaiki oleh dr. Albert Sabin yang mulai digunakan sejak 1962. Vaksinasi saat balita akan sangat membantu pencegahan polio di masa depan karena polio menjadi lebih berbahaya jika diderita oleh orang dewasa.
Penyakit polio yang menyebabkan kelumpuhan permanen pada kaki kiriku telah menjadi takdirku. Takdir ini akan mengubah jalan hidupku. Ke arah mana? Lebih baik, atau lebih buruk? Apakah takdirku ini bisa diperbaiki? Bisa diluruskan?
Suatu peristiwa, takdir kehidupan, yang terjadi dan berpotensi mengubah jalan hidup bisa datang kapan saja dan tidak terduga. Namun, ini dapat menjadi titik balik dalam kehidupan. Aku contohnya.
Tentunya bukan hanya aku yang ditakdirkan kurang beruntung. Banyak anak lain yang mengalami takdir dalam kehidupannya tanpa kuasa mencegahnya. Menurut data Yayasan Thalasemia Indonesia, ada sekitar 200.000 yang menderita cacat bawaan thalasemia, suatu kelainan darah yang tidak bisa sembuh. Diperkirakan sekitar 2 juta anak berumur kurang dari 3 tahun menderita autis. Belum terhitung anak yang menderita cacat bawaan lain sejak lahir.
Tentunya tidak ada satu pun dari anak-anak ini yang menginginkan menderita penyakit-penyakit ini. Beban sakitnya tidak saja diderita si anak, tetapi oleh seluruh keluarganya. Apakah ini merupakan suatu takdir yang tidak bisa diubah? Apakah kemudian anak-anak ini, bisa meluruskan takdirnya?
Memperbaiki nasibnya? Apa peranan orangtua dalam memperbaiki takdir si anak? Apa peranan Anda?
Itu kalau kita berbicara mengenai penyakit. Bagaimana kalau kita berbicara tentang takdir kehidupan yang diderita seorang anak akibat orangtuanya bercerai? Berapa ratus, mungkin ribuan, mungkin ratusan ribu; atau mungkin jutaan anak yang menderita akibat perceraian kedua orangtuanya? Mereka tentunya tidak menginginkan itu. Imam berusia 4 tahun ketika kedua orangtuanya bercerai. Anak seusia Imam seharusnya mendapat kasih sayang dan perhatian penuh dari kedua orang-tuanya. Hari-hari Imam seharusnya diisi dengan keceriaan. Rasa penuh keingintahuan akan alam sekeliling seharusnya dipenuhi oleh ayah dan ibunya. Imam tidak pernah bertanya, mengapa dia dan ibunya sering menginap di rumah nenek, tanpa disertai ayahnya. Seharusnya hari-hari Imam tidak dicemari oleh pertengkaran kedua orangtuanya yang berakhir dengan perceraian. Apakah Imam meminta terjadinya perceraian? Tentu tidak! Perceraian kedua orangtuanya pasti memengaruhi jalan hidup Imam. Ini pun sudah tentu menjadi takdir Imam yang membawa Imam ke arah mana di kemudian hari? Lebih baik atau lebih buruk?
Dokter Tini, adalah seorang residen (dokter yang sedang dilatih menjadi seorang spesialis). Malam itu dr. Tini lepas jaga di rumah sakit. “Mas, nanti jemput aku jam 7 malam, ya,” pinta dr. Tini melalui telepon genggam kepada suaminya. Setelah lepas jaga selama 24 jam, yang melelahkan, tentu pikiran dr. Tini adalah pulang, mandi air hangat, kemudian bercanda ria dengan suami dan ketiga anaknya. Waktu sudah menunjukkan jam delapan malam, suaminya belum juga menjemput. Dicoba dihubungi melalui telepon genggam pun tidak dijawab. Jam setengah sembilan, seorang senior dr. Tini datang dengan wajah kuyu dan lesu. Dia berkata, “Tini, kuatkan hatimu, ya. Suamimu kecelakaan, sekarang ada di ruang gawat darurat.”
Ternyata sebuah truk yang remnya blong menabrak motor suami sang dokter, tepat ketika akan berbelok memasuki halaman rumah sakit. Segala upaya telah dilakukan di ruang gawat darurat, tetapi tidak berhasil. Suaminya dinyatakan meninggal pada pukul 20.15. Kejadian ini, sesuatu yang tidak pernah terlintas dalam pikiran akan terjadi, tentu mengubah jalan hidup dr. Tini dan keempat anaknya (dr. Tini baru menyadari dirinya hamil lagi setelah suaminya meninggal). Ke arah mana perubahan ini? Ke arah lebih baik atau lebih buruk?
Mutia sangat tidak percaya kalau suaminya, Basir, divonis gagal ginjal tahap akhir. Menurut dokter yang merawat, pengobatannya hanya cangkok ginjal atau cuci darah seumur hidup. Bagaimana mungkin Basir yang sangat ketat terhadap kesehatan, tidak pernah merokok, selalu menjaga makanan, tidak pernah sakit dalam waktu sepuluh tahun terakhir, dinyatakan gagal ginjal? Inilah yang terjadi pada Mutia, seorang istri yang sempat merasa hidupnya too good to be true, lalu tiba-tiba berbalik total. Suaminya divonis mengalami gagal ginjal terminal, nyaris tanpa aba-aba sebelumnya. Peristiwa ini terjadi sekitar empat puluh hari sejak kepulangan mereka dari ibadah haji di tanah suci. Ibarat bom atom jatuh dari langit, vonis ini pun memorak-porandakan hidupnya. Nyaris semua rencana, harapan, mimpi, cita-citanya rasanya runtuh seketika. Bukan hanya biaya yang harus dia siapkan, melainkan juga tekad dan ketegaran yang harus dia himpun di hatinya. Perjuangan yang menuntut keikhlasan dan kesabaran. Mutia dan Basir harus menerima takdir ini. Bagaimana Mutia mengatasi takdir ini diceritakan dalam buku yang dikarangnya dan menjadi bestseller.