Apakah Anda cerdas? Apa profesi Anda? Anda profesor, doktor, sarjana, mahasiswa, pedagang, petani, atau lainnya?
Siapa pun Anda, percayalah bahwa Anda cerdas. Tubuh Anda sama cerdasnya dengan profesor mana pun, bahkan Einstein atau Habibie.
Apa yang dimaksud dengan cerdas? Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), cerdas mempunyai dua arti:
a. Sempurna perkembangan akal budinya (untuk berpikir, mengerti, dan sebagainya), tajam pikiran;
b. Sempurna pertumbuhan tubuhnya (sehat dan kuat).
Merujuk penjelasan tersebut, seseorang disebut cerdas bila mampu memanfaatkan seluruh potensi tubuhnya untuk mendapatkan kecerdasan pikiran (intelektual) dan kecerdasan fisik.
Kecerdasan pikiran (intelektual) berarti sempurna dalam perkembangan akal budinya. Kecerdasan fisik berarti sempurna dalam perkembangan tubuhnya. Jadi, Anda harus percaya bahwa tubuh Anda sudah diciptakan sebaik mungkin, secerdas mungkin. Bukankah Allah Swt. memang telah berfirman dalam Surah Al-Tîn (95): 4, "Sesungguhnya kami telah menciptakan manusia dalam bentuk sebaikbaiknya."
Jadi, mengapa Anda saat ini merasa kurang cerdas? Mengapa Anda kurang bugar atau kurang pandai dibandingkan dengan teman sejawat Anda? Apakah itu hanya perasaan Anda sendiri atau kata orang lain? Apakah Anda memang cukup cerdas untuk menentukan pilihan terbaik bagi diri sendiri?
Stephen Hawking, ilmuwan fisika yang sangat terkenal, mengatakan bahwa alam semesta adalah suatu misteri. Begitu pun diri manusia. Bisa dikatakan bahwa kita mengetahui hanya sedikit tentang jagat raya. Begitu pun mengenai diri kita sendiri. Manusia baru bisa menjejakkan kaki di bulan, yang relatif sangat dekat, dibandingkan dengan jarak berjuta tahun cahaya ke rasi bintang yang terdekat. Begitu juga apa yang sudah kita ketahui tentang diri sendiri. Hanya sedikit, malahan menurutku sedikit sekali.
Apa sebenarnya yang kita ketahui tentang tubuh kita? Kecerdasan manusia? Apakah letak kecerdasan itu di otak? Atau di bagian tubuh lain? Apakah orang yang dikenal genius mempunyai otak yang berbeda dengan kita?
Kita semua mengenal sosok Einstein, salah satu manusia yang dianggap paling cerdas. Apakah otak Einsten, si genius dalam bidang fisika dan matematika, berbeda dengan otak kita? Saat Albert Einstein wafat pada 1955 lalu di usia 76 tahun, dokter Thomas Harvey yang mengautopsinya sengaja menyimpan organ otaknya. Bertahun-tahun lamanya otak itu tersimpan. Ada rasa bersalah pada Harvey karena telah menyembunyikan otak Einstein. Lagi pula, dia tidak mengerti benar harus diapakan otak itu.
Otak ini menarik perhatian dunia karena reputasi Albert Einstein sebagai seorang genius. Diduga kelainan dan ciri khas di dalam otaknya ini mempunyai korelasi kuat dengan kemampuan intelegensi yang memunculkan banyak ide cerdas dalam dunia fisika dan matematika.
Awalnya, diduga kegeniusan Einstein disebabkan otaknya yang berbeda, salah satunya karena lebih besar.
Baru pada 1985, Diamond dkk. melakukan autopsi pada otak Einstein. Menurut mereka, otak Einstein mempunyai lebih banyak sel glia. Sel glia atau neuroglia adalah jenis sel dalam otak yang berfungsi menunjang dan melindungi neuron, suatu jenis sel otak lainnya. Adapun neuron membawa informasi dalam bentuk kejutan listrik yang dikenal sebagai potensi aksi. Makin tinggi jumlah sel glia diduga menunjukkan kekuatan otak yang lebih tinggi. Sebelumnya, dalam foto yang dipublikasikan di jurnal Brain, terungkap lebih banyak lipatan di wilayah abu-abu otak Einstein, tempat pikiran sadar (concious) berada. Secara khusus, lobus frontal (frontal lobes), yaitu wilayah otak yang berkaitan dengan pikiran abstrak dan perencanaan, tidak seperti milik orang kebanyakan. Lipatannya lebih banyak dan rumit. Karena itu, permukaan otak Einstein dianggap lebih luas dibandingkan dengan orang pada umumnya. "Ini gambaran paling istimewa dan canggih dari otak manusia," kata Dean Falk, penulis pendamping laporan, sekaligus antropolog dari Florida State University.
Namun, riset terbaru yang dilakukan Dr. Terence Hines dari Pace University, New York, Amerika Serikat menunjukkan penelitian sebelumnya kurang tepercaya. Tim Hines menyimpulkan, tak ada yang istimewa dalam otak Einstein. Otak sang ilmuwan sama dengan otak manusia lainnya, seperti yang dilaporkan dalam Neuroskeptic, Discover Magazine terbitan 24 Mei 2014 dengan judul The Myth of Einstein Brain.
Sebelumnya, menurut peneliti Marian Diamond dari University of California, ukuran otak Einstein biasa saja. Berat otak itu 1,22 kilogram. Sesudah difoto dan 240 potongan otak Einstein diteliti dengan teknik yang bernama celloidin, nyatanya sel-sel di otak Einstein serta ukurannya amat normal. Lebih jauh lagi, Hines mengklaim, analis mikroskopik menemukan secara esensial tak ada perbedaan antara otak Einstein dan orang lain. Studi masa lalu menggunakan irisan otak Einstein menganalisis dan menyimpulkan bahwa ada keistimewaan pada otak Einsten. Namun, Dr. Hines mengatakan, "Hasil penelitian terdahulu, yang menganalisis satu atau beberapa irisan kecil otak, lalu mengungkapkan sesuatu yang berhubungan dengan kemampuan kognitif tertentu dari otak, bersifat naif," demikian dilaporkan dalam Daily Mail, Jumat (30/5/2014).4
4. Sumber: Liputan6.com, Otak Albert Einstein Terbukti Tak Istimewa, Kok Jenius?, 30 Mei 2014.
Jadi, dapat disimpulkan bahwa sebenarnya otak Einstein biasa saja. Kalau begitu, kecerdasan manusia itu sebenarnya tersimpan di mana?
Kecerdasan manusia sulit dijabarkan dengan kata-kata ataupun didefinisikan dengan mudah. Ini menjadi perdebatan seru antara para ahli, baik para dokter, ahli psikologi, maupun ahli agama.
Biarlah mereka berdebat. Kita tidak usah ikut campur. Hanya kita harus memahami, kalau itu masih menjadi perdebatan, masih lahir teori-teori baru, kita yakin mereka belum sepakat.
Sebagai contoh kecil bahwa betapa sedikitnya kita mengenal diri sendiri, ikuti anekdot ini. Sebagai seorang guru besar ilmu penyakit dalam di Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran yang saat itu juga menjabat Kepala Bagian Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Hasan Sadikin Bandung, aku harus memberi pengarahan sebagai cara memotivasi mahasiswa Program Pendidikan Dokter maupun pendidikan Strata 2 (S2) dan Strata 3 (S3) yang menjalani stase (magang) di bagian kami. Kadang-kadang, kuceritakan anekdot pada mahasiswaku, ”Kalian, kan, akan berusaha menjadi seorang doktor, strata tertinggi dalam ilmu kedokteran. Jawablah pertanyaanku yang sederhana ini: Mengapa manusia mempunyai dua telinga, dua mata, dua lubang hidung, tetapi mulutnya hanya satu?”
Aku selalu merasa geli mendengar jawaban mereka. Ada yang berdasarkan ilmu anatomi, ilmu fisiologi, filsafat, bahkan berlandaskan agama. Semua ingin menguji kecerdasannya. Ini menandakan bahwa untuk pertanyaan yang sederhana ini saja, sebenarnya kita tidak bisa mendapatkan jawaban yang memuaskan. Artinya kita TIDAK TAHU ... termasuk aku tentunya. Apakah Anda mempunyai jawabannya?