Rabu, 08 Oktober 2025
Pukul 15.00 WIB
Eva berdiri dengan gelisah di tepi jalan yang padat. Terik matahari menempel di kulit, membuat keringat membasahi pelipisnya. Tangannya terangkat, melambai setiap kali ada taksi melintas, namun tak satu pun yang berhenti. Sudah lebih dari lima belas menit ia menunggu—dan setiap detik terasa seperti hukuman kecil.
Di tangan kirinya, ponsel menyala. Layar menampilkan daftar mobil angkutan yang semuanya bertuliskan penuh atau menolak panggilan. Ia menarik napas panjang, lalu mendesah kesal.
“Kenapa sih hari ini?” gerutunya pelan.
Seharusnya pukul tiga sore ini Eva sudah duduk di kursi lobi Nova Hotel bersama tim kameranya, bersiap menyalakan recorder dan membuka memo pertanyaannya. Namun siang tadi ia nekat menemui beberapa informan—kesempatan langka untuk mendapatkan berita eksklusif.
Tiga tahun terakhir, sinarnya sebagai jurnalis perlahan meredup. Dulu namanya sering disebut dengan kekaguman, kini hanya tinggal sisa rasa iba di mata rekan-rekannya. Bahkan atasannya, Priyoko, kini menatapnya dengan pandangan setengah iba, setengah jengah—seolah berkata bahwa masa kejayaannya sudah lewat.
Ironisnya, kegagalannya tak berhenti di sana. Pernikahan yang ia kira akan bertahan seumur hidup, justru hancur di tengah jalan. Ia bahkan kehilangan hak asuh atas putri tunggalnya. Sebagai perempuan berkarier yang tumbuh dengan prinsip tidak boleh kalah, kekalahan itu menampar hingga harga dirinya. Ia menolak menyerah. Selama tiga tahun terakhir, Eva bekerja siang malam, berjuang untuk mengembalikan pamor dan mungkin, sedikit demi sedikit, kepercayaan anak dan mantan suaminya.
Sayangnya, semua usahanya selalu berakhir buntu.
Berita yang ia kejar tak pernah cukup gemilang untuk menarik perhatian publik. Sebaliknya, ia makin terpuruk—nyaris tenggelam di posisi terendah. Hanya Priyoko yang masih percaya padanya, tapi kepercayaan itu terasa seperti bom waktu. Eva tahu, suatu hari nanti, jika ia kembali gagal, pria itu pun akan menyerah dan kemungkinan terburuknya, ia akan dibuang.
Sial,” desisnya, kali ini lebih tajam.
Nada dering di ponsel di tangannya, memotong kekesalannya. Earset di telinganya bergetar halus, menandakan panggilan masuk. Ia menekan tombol terima, dengan menahan napas.
“Eva! Di mana kamu?? Kamu enggak butuh kerja lagi, huh??”
Suara Priyoko terdengar dari seberang—penuh amarah, tak butuh penjelasan.
“Maaf, Pak … saya sudah dekat. Tapi belum dapat kendaraan,” jawabnya cepat, nyaris memohon.
“Kalau dalam sepuluh menit lagi kamu belum sampai, tugasmu aku alihkan ke Liora!”
“Ta—”
Sambungan sudah terputus. Eva mendengus frustasi. “Sial!” gumamnya lagi, kali ini tanpa menahan nada putus asa.
Ia sudah kehabisan kesabaran. Penampilan tak lagi jadi prioritas—entah naik mobil, bajaj, atau motor, yang penting ia harus sampai di Nova Hotel dalam sepuluh menit. Jika terlambat, berita itu akan diambil alih Liora, junior yang tiga tahun terakhir mencuri perhatian semua orang, termasuk Priyoko.