Hanya berbekal kamera ponsel, Eva tahu ia tak boleh melewatkan momen ini. Tangannya bergetar—antara gugup dan antusias. Di depan matanya, reruntuhan Nova Hotel berdiri seperti luka raksasa di tengah kota. Inilah keberuntungan di balik kesialan. Berita besar yang selama ini ia kejar dengan segala tenaga … kini justru datang menghampiri. Seolah Tuhan yang selama ini ia keluhkan diam saja, akhirnya menjawab doanya—dengan cara yang tak pernah ia bayangkan.
Dengan gerakan refleks yang sudah tertanam dari bertahun-tahun pengalaman, Eva mengambil tripod dari tasnya, membuka lipatannya, menancapkan ponsel di atasnya, menyalakan mode rekam, lalu berdiri tegak di depan kamera. Napasnya masih tersengal, tapi suaranya stabil.
“Selamat sore, pemirsa …” Nada suaranya tenang dan terlatih—nada khas reporter profesional. Dulu, suara itu pernah mengisi layar kaca. Kini, ia kembali memainkannya seperti melodi yang nyaris ia lupakan. “Saya Eva Naura, melaporkan langsung dari Jalan Meranti Utara, Antarlina Pusat—tepat di depan lokasi di mana Nova Hotel baru saja runtuh beberapa menit yang lalu.”
Kamera bergeser, mengikuti arah tangannya. Memperlihatkan pemandangan di belakangnya: puing-puing beton, debu yang menutup matahari, dan puluhan orang yang berlari-lari kecil di tengah kekacauan. Beberapa pegawai hotel berteriak memanggil bantuan—ambulans, pemadam kebakaran, dan polisi. Dari arah lain, suara tangis dan jeritan histeris bercampur, membentuk paduan suara duka.
Penduduk sekitar mulai berdatangan, sebagian merekam dengan ponsel mereka sendiri, sebagian hanya berdiri terpaku, tak percaya pada apa yang mereka lihat.
“Tadi, sekitar pukul 15.13 WIB, terdengar dentuman keras disertai getaran setelah gempa,” lanjut Eva, matanya tetap fokus pada kamera. “Warga sekitar dan beberapa pengunjung hotel yang berada di lantai bahwa langsung panik dan berlarian keluar. Di belakang saya bisa Anda lihat, puing-puing bangunan masih berserakan dan debu tebal masih menutup jalan.”
Ia kembali memutar kamera ke wajahnya, lalu melanjutkan dengan nada reporter yang tegas dan tenang.
“Hingga saat ini, belum ada keterangan resmi dari pihak berwenang mengenai penyebab runtuhnya gedung ini maupun jumlah korban yang kemungkinan terjebak di dalam. Kami akan terus memantau perkembangan di lapangan dan memberikan informasi terbaru segera setelah data resmi kami terima. Dari Antarlina Pusat, saya Eva Naura, melaporkan untuk Echo Vision.”
Begitu rekaman selesai, Eva langsung memotong bagian awal dan akhir, mengedit seadanya, lalu mengirimkannya ke Priyoko. Senyum kecil muncul di bibirnya. Ada perasaan puas yang samar—bukan karena tragedinya, tapi karena nalurinya sebagai jurnalis masih hidup. Ia tahu, berita ini akan membuat Priyoko bangga. Saat ini belum ada reporter lain di lokasi. Ia yang pertama.
Belum satu berlalu sejak kirimannya terkirim, ponselnya bergetar. Nama Priyoko muncul di layar.
“Eva! Apa yang terjadi?”
Kalimat itu terhenti. Suara di seberang seperti kehilangan kata.
“Aku nyaris masuk ke dalam waktu gempa terjadi,” potong Eva cepat. Napasnya masih terengah. “Baru beberapa detik setelah gempa berhenti, aku dengar suara retakan … lalu dalam sekejap semuanya runtuh.”
Hening. Hanya suara napas berat dari seberang sana. Priyoko, lelaki berusia pertengahan empat puluh dengan nada bicaranya keras dan tajam, kini terdengar berbeda—penuh keterkejutan.
“Sudah panggil bantuan?” tanyanya akhirnya, nadanya melunak. “Liora dan dua kameramen kita ada di dalam. Karena kamu terlambat, aku minta mereka pindah liputan ke Nova Hotel.”