Adu mulut tak terhindarkan. Suara Eva dan Priyoko saling bertabrakan di ruang kerja redaksi yang dingin dan penuh cahaya monitor. Ketegangan menggantung di udara—dua prinsip yang sama kerasnya bertabrakan dalam ruang itu yang pernah menjadi tempat mereka membangun banyak berita besar bersama.
Priyoko bersikeras bahwa siaran tentang runtuhnya Nova Hotel harus tetap berpegang pada fakat—bersih, objektif, dan tidak ditambah embel-embel dramatisasi. Sementara Eva beragumen sebaliknya. Menurutnya, semua stasiun berita sudah menyiarkan hal yang sama: reruntuhan, korban, dan tangisan keluarga. Publik akan bosan, katanya. Mereka butuh sesuatu yang berbeda—sesuatu yang membuat mereka bertahan menonton.
“Fakta enggak cukup menjual, Pak,” suara Eva meninggi. “Orang sudah tahu Nova Hotel runtuh! Yang mereka ingin tahu sekarang adalah kisah di baliknya, kisah yang menggugah!”
Priyoko memandangi Eva lama, lalu mendesah berat. “Kamu benar-benar belum belajar dari masa lalu, ya?” Katanya datar. “Sudah lupa apa yang terjadi beberapa tahun yang lalu?”
Nada bicaranya dingin, tapi justru itulah yang membuat kata-katanya menohok.
“Bertahun-tahun lalu, kita pernah berdebat soal hal yang sama. Kamu ingin membuat berita jadi ‘lebih menarik’, dan apa hasilnya?” Tatapannya menajam. “Kamu enggak bertahan lama, Eva. Kamu jatuh—jatuh begitu dalam sampai butuh waktu lama untuk bisa sekadar berdiri lagi.”
Eva terdiam.
Kata-kata itu menghantam seperti batu besar yang dilempar ke danau tenang dalam dirinya. Riak kenangan pun mulai muncul—kenangan yang sebetulnya ingin ia kubur dalam-dalam.
Bertahun-tahun lalu … saat dirinya masih di puncak ketenarannya. Saat mikrofon menjadi perpanjangan lidah keadilan, dan publik menjulukinya “Pahlawan Mikrofon”, julukan yang menyuarakan kebenaran dengan mikrofon, tanpa pamrih, tanpa takut. Tapi kemudian segalanya runtuh. Julukan itu berubah menjadi ejekan: “Sindrom Bayangan Mikrofon.” Eva, si mantan bintang yang tak bisa berhenti mengejar cahaya sorotan masa lalunya.
Priyoko memandangnya lama sebelum berkata lagi, suaranya kini lebih lembut tapi tetap menusuk. “Perlu aku ingatkan kesalahanmu waktu itu, Eva? Kesalahan yang membuatmu jatuh?”
Eva hanya menggeleng pelan.
Ia tak butuh diingatkan. Setiap malam, rasa bersalah itu selalu datang dalam bentuk suara—netizen yang mencaci, suara redaksi yang kecewa, dan suara keluarganya yang menanyakan kenapa ia berhenti muncul di TV.
Sudah tiga tahun ia mencoba menebusnya. menahan diri untuk tidak melanggar garis etika lagi. Tapi apa hasilnya? Tidak ada. ia kehilangan posisinya, suaminya, bahkan hak asuh putrinya. Kini yang tersisa hanyalah mikrofon, dan rasa percaya diri yang semakin menipis.
Priyoko mendekat, menepuk bahu Eva dengan tatapan yang sedikit melunak. “Aku tahu kamu sudah berjuang tiga tahun ini. Bertahan sedikit lagi. Kode etik dan idealisme yang kamu junjung tinggi itu … cepat atau lambat akan memberi hasil. Percayalah, Eva.”
Eva menatapnya lama. Ingin percaya, tapi hatinya lelah.
Selama tiga tahun, hanya Priyoko yang tetap mempercayainya—satu-satunya tangan yang tak menarik diri saat semua orang menjauh. Tak kini, kata-kata pria itu terdengar seperti gema yang hampa. Hasil yang dijanjikan itu … tak kunjung datang.
Namun untuk kali ini—mungkin untuk terakhir kalinya—Eva memutuskan untuk tetap percaya.
Hari ketiga—10 Oktober 2025.
Korban reruntuhan Nova Hotel yang ditemukan sudah hampir menyentuh angka 100. Sebagian besar selamat, meski lebih dari setengahnya menderita luka berat. Waktu terus berjalan, dan golden time untuk menemukan korban hidup semakin menipis—bersamaan dengan harapan keluarga yang masih menunggu di belakang garis polisi.