Keesokan harinya.
Pagi itu seharusnya milik Jelita.
Setiap dua minggu sekali, putri Eva yang berumur tiga tahun itu akan tinggal bersamanya selama akhir pekan—rutinitas kecil yang menjadi satu-satunya waktu kebersamaan mereka seperti perceraian. Tapi hari ini, Eva menatap layar ponselnya dengan perasaan berat. Ia sudah menekan nomor Izzat, mantan suaminya, dan sebelum nada sambung ketiga, suara kesal dari seberang sudah terdengar.
“Kamu begini lagi, Eva.” Suara Izzat terdengar tajam, seperti pisau yang tak lagi tumpul karena sering diasah oleh kekecewaan. “Kamu tahu kan, Jelita sudah siap dari tadi?? Dia sudah nunggu buat ketemu kamu!”
Eva memejamkan mata. Ia tahu. Ia bisa membayangkan wajah Jelita–rambut kuncir dua, mata bulat yang selalu berbinar tiap kali mendengar suara ibunya. Tapi di sisi lain, pikirannya masih terpaku pada layar berita di depan laptop: Nova Hotel, Hari Keempat, 195 Korban Ditemukan. Berita itu terlalu besar untuk dilewatkan. Terlalu penting untuk ditinggalkan.
“Aku tahu,” jawab Eva pelan, menahan napas. “Tolong, Iz … cuma kali ini. Satu kali ini aja. Setelah berita ini selesai, semuanya akan kembali seperti semula. Aku janji.”
Izzat terdiam sejenak, tapi hanya sebentar.
“Kamu selalu bilang gitu! Ini bukan satu atau dua kali, Eva. Sudah ratusan kali! Yang Jelita butuh itu kamu, bukan berita, bukan mikrofon yang kamu banggakan!”
Kata-kata itu menamparnya. Tapi apa yang bisa ia katakan??
Bagi Eva, menjadi ibu, istri, dan jurnalis tak pernah bisa dipisahkan. Jika satu gagal, maka semuanya ikut hancur.
“Tunggu aku sebentar lagi, Iz. Satu berita ini saja …”
“Terserah kamu!”
Sambungan terputus.
Eva menatap ponsel yang kini gelap. Ia tahu Izzat marah besar. Tapi dalam hatinya, ia percaya—begitu ia kembali bersinar, begitu nama Eva Naura kembali dikenal publik, semuanya akan pulih. Bahkan mungkin, Jelita akan bangga lagi memanggilnya Bunda.