CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #6

TARUHAN

Sore itu, harusnya Eva pulang ke rumah. Tapi alih-alih beristirahat, ia justru datang ke stasiun. Ada sesuatu yang lebih berat dari sekadar kelelahan yang membawanya ke sana—tekad. Ia ingin memastikan satu hal terakhir: keputusan Priyoko mengenai ide beritanya. 

Ruang kendali masih setengah gelap ketika ia datang. Lampu monitor berkedip, menyoroti wajah Priyoko yang sedang menatap layar dengan rahang mengeras. 

“Sekali tidak, tetap tidak, Eva!” suaranya memotong udara dengan tegas. “Apa kamu enggak lihat keadaan Senzo sekarang? Dia koma dengan luka parah. Apa kamu enggak lihat??” 

“Aku lihat itu, senior,” jawab Eva datar, meski nadanya nyaris bergetar. Ada ketakutan di balik suaranya—ketakutan pada amarah produsernya—tapi juga keyakinan yang membara. Ia tahu berita tentang masa lalu Senzo akan mengguncang publik. Dan dalam hati kecilnya, ia percaya berita itu bisa menjadi tiket emasnya untuk kembali berdiri, dikenal seperti dulu. 

Priyoko menatapnya tajam, matanya memantulkan kelelahan yang dalam. “Kalau kamu tahu itu, ke mana nuranimu, Eva? Itu kasus lama. Bahkan kalau kamu mau mengungkitnya, Senzo enggak akan bisa membela diri karena kondisinya saat ini.” 

Eva menarik napas panjang. “Aku tahu, senior. Tapi kesempatanku untuk kembali enggak akan datang dua kali.” Suaranya lembut tapi membara. “Aku sudah kehilangan semuanya—pekerjaan, nama baik, pernikahan, dan anakku. Kalau aku enggak bisa bangkit sekarang, aku enggak akan punya apa-apa lagi.” 

Priyoko menunduk sejenak, menghela napas berat. tiga tahun  ia menunggu juniornya kembali pulih, tapi kini, di depan matanya, wanita itu memilih jalan yang sama berbahayanya seperti dulu. “Kamu tetap akan mengajukan berita ini meski aku menolak, kan?” tanyanya dingin. 

Eva mengangguk mantap. “Maaf, senior. Aku enggak bisa lepaskan kesempatan ini.” 

“Terserah kamu saja.” 

Kalimat itu meluncur datar, tapi lebih menusuk dari teriakan mana pun. Priyoko membuang pandangannya ke arah jendela kaca, menatap pantulan wajahnya sendiri yang tampak lelah. Kesabarannya sudah habis. Ia tahu, ini adalah titik akhir dari penantiannya pada Eva. 

Eva menunduk sedikit, suaranya pelan tapi jelas, “Ma-maaf, senior. Tapi senior yang selalu hebat di mata banyak orang, enggak akan pernah mengerti gimana rasanya jatuh ke posisi terendah seperti aku.” Matanya memanas, air mata hendak jatuh tapi berusaha ditahannya. “Aku cuma ingin kesempatan sekali lagi.”  

Sebelum keluar dari ruang kendali, ia menatap pria itu sekali lagi—orang yang selama ini menjadi jangkar ketika semuanya runtuh.  Selama ini, ia tak peduli dengan penilaian orang lain. Tapi Priyoko berbeda. Satu-satunya orang yang selama ini terus menggenggam tangannya meski ia jatuh adalah pria itu. Ia hanya ingin dimengerti, meski permintaannya mustahil. 

“Keyakinan itu datang dari mana, Eva?” tanya Priyoko lirih, menahan emosi. “Kamu pikir kalau kamu bersinar lagi, mereka akan kembali padamu?” 

“Aku yakin itu, senior,” jawab Eva mantap. 

“Tak semua di dunia ini bisa berjalan sesuai dengan keinginanmu, Eva,” gumam Priyoko. “Terkadang … kamu harus melepaskan satu hal untuk mempertahankan yang paling penting.” 

Eva menggeleng. Ia yakin dengan keyakinannya. “Aku dulu bisa menggenggam segalanya, senior. Begitu pula dengan di masa depan.” Lalu ia menunduk hormat sebelum pergi. 

Namun langkahnya tak berhenti di sana. Ia tahu Priyoko menolak idenya, tapi itu bukan akhir. Ia masih punya satu kesempatan lagi—taruhan terakhir. 

Kepala redaksi adalah wanita yang sangat mempercayai Priyoko. Bukan tanpa alasan kepercayaan itu ada, tapi karena mereka telah bekerja sama dengan baik, dan penilaian Priyoko tak pernah salah. Jadi ketika sebuah berita ditolak oleh Priyoko, kepala redaksi percaya bahwa pertimbangan untung rugi telah dipikirkan matang-matang oleh Priyoko untuk semua pihak. Tapi jika seorang jurnalis masih merasa bahwa penilaian Priyoko salah, dan ingin beritanya tetap ditayangkan, ia perlu menemui kepala redaksi, bicara dengannya seperti membuat taruhan. Kalau berhasil, jurnalis itu akan mendapatkan kepercayaan besar dan mungkin promosi posisi. Tapi jika gagal, jurnalis itu mungkin akan kehilangan pekerjaannya dan karirnya akan tamat. 

“Kamu datang menemuiku …” suaranya dingin, penuh perhitungan. 

Lihat selengkapnya