Untuk menyusun berita yang benar-benar rinci, Eva harus pergi ke Velantara—kota di arah timur Antarlina, tempat Senzo menghabiskan masa remajanya. Jika Antarlina dikenal sebagai jantung yang tak pernah tidur, penuh cahaya, dan lalu lintas yang tak henti berdetak, maka Velantara adalah kebalikannya: sebuah titik sunyi di peta, kota nelayang yang namanya bahkan jarang muncul di mesin pencarian.
Perjalanan ke sana tidak mudah. Butuh belasan jam dengan kendaraan baik mobil, kereta, atau bus. Tapi jika menggunakan jalur udara, waktu tempuhnya bisa dipersingkat menjadi setengahnya.
Eva memilih menggunakan jalur udara untuk tiba di kota itu. Untuk bisa ke Velantara, Eva perlu naik penerbangan ke kota Prema. Dari Prema, ia perlu naik jalur darat, yang memakan waktu sekitar 4 jam lamanya. Dengan menggunakan cara itu, ia berhasil mempersingkat waktu tempuh yang tadinya di atas 14 jam menjadi sekitar 7 jam perjalanan.
Velantara digambarkan sebagai kota dengan pesisir pantai di hampir sebagian wilayahnya. Gambaran udara asin dan suara burung camar yang sesekali melintas di langit rendah, jalan utamanya sempit, diapit oleh deretan rumah kayu bercat pudar dan toko-toko kecil yang menjual hasil laut, sudah muncul dalam benak Eva. Gambaran pemandangan garis pantai terlihat seperti pisau perak yang memisahkan birunya laut dan langit, juga menghiasi kepala Eva.
Tak sulit menebak mengapa kota ini dijuluki “Kota Nelayan”—lebih dari separuh penduduknya hidup dari laut, dari jaring, ikan asin, dan pelabuhan kecil yang tak pernah benar-benar tidur.
Menurut data yang dikirim Dimas, Senzo lahir di Antarlina pada 26 November 1988. Namun saat berusia tujuh tahun, ia pindah bersama keluarganya ke Velantara karena mutasi pekerjaan sang ayah, seorang pegawai pemerintahan di bidang pariwisata. Eva menduga, perkembangan pariwisata laut di kota ini bermula sejak masa itu. Sebelumnya, Velantara hanyalah kota pesisir yang sepi, tapi kini berubah—ada festival laut tahunan setiap Mei, ada dermaga yang direnovasi, dan nama kota itu mulai dikenal sebagai tujuan wisata sederhana.
Namun dari catatan yang sama, sesuatu membuat Eva terhenti.
Kalista Devi—teman satu band Senzo—meninggal dunia pada bulan Mei delapan tahun lalu, bulan yang sama dengan dimulainya festival kota itu.
Kebetulan yang terlalu rapi untuk diabaikan.
Pertanyaan-pertanyaan berdesakan dalam benaknya:
Apakah kematian Kalista Devi benar-benar bunuh diri, atau hanya ditutup rapat? Mengapa kasus itu seolah dikubur begitu saja? Bagaimana nama Senzo dan tiga temannya bisa muncul dalam daftar tersangka, dan mengapa kini—bertahun-tahun kemudian—empat anggota bandi itu kembali “bertemu” di reruntuhan Nova Hotel?
Terlalu banyak kebetulan. Terlalu banyak kebisuan.
Eva menarik napas panjang, menatap keluar jendela mobil yang membawanya menuju pusat kota. Laut tampak berkilau di bawah sinar matahari sore, tapi pikirannya jauh dari kata “tenang”.
Di ponselnya, ia menyusun daftar panjang: arsip kasus di kantor kepolisian, sekolah lama Senzo, arsip berita lokal, tetangga Senzo dan empat temannya, dan terakhir lokasi Kalista Devi ditemukan meninggal. Semua harus ia periksa sendiri.
Kali ini, bukan sekadar berita. Ini adalah kebenaran yang menunggu untuk digali dari dasar laut yang tenang—dan mungkin, kelam.
***