CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #8

PENYELIDIKAN PART 2

Keesokan paginya, selepas sarapan singkat di penginapan, Eva berangkat menuju kantor kepolisian Velantara. Udara pagi di kota itu terasa jauh lebih tenang dibandingkan Antarlina. Jalanan lengang, hanya sesekali terdengar suara motor tua yang melintas dan deru ombak dari kejauhan. Velantara mungkin luas secara wilayah, tapi pusat kotanya kecil, nyaris tanpa hiruk pikuk. Tidak ada klakson bersahutan, tidak ada kemacetan. Hanya barisan gedung-gedung lama yang catnya mulai pudar, berdiri dengan tenang di bawah cahaya matahari yang lembut. 

Begitu tiba di kantor kepolisian—bangunan berarsitektur sederhana dengan tembok cat kuning dan papan nama berdebu—Eva menunjukkan kartu identitas jurnalisnya serta surat pengantar resmi dari redaksi. Setelah menunggu beberapa menit dan melalui proses administrasi singkat, ia akhirnya mendapat izin untuk membuka arsip kasus kematian Kalista Devi. 

Petugas membawa sebuah map cokelat tua dari ruang arsip di lantai bawah—ruangan sempit yang dipenuhi tumpukan map lusuh dan bau kertas lembab. Saat map itu diletakkan di meja, debu tipis beterbangan di udara. Tinta hitam di sampulnya sudah mulai memudar, tapi masih bisa terbaca: 

KASUS NO: 175/K/ 07/2017 

Jenis Kasus: Bunuh Diri. 

Nama Korban: Kalista Devi (18 tahun) 

Lokasi: Pantai Velantara. 

Tanggal Kejadian: 08 Mei 2017 

Status: Ditutup — Tidak ditemukan unsur pidana. 

Eva membuka map itu perlahan. Di dalamnya, lembaran-lembaran kertas kekuningan menumpuk tak rapi, ujungnya melengkung karena lembab. Halaman pertama adalah Berita Acara Pemeriksaan (BAP) — berisi hasil interogasi singkat terhadap delapan saksi. Empat di antaranya adalah teman satu band korban: Sena Lazuardi, Arka Gading, Bayu Rendra, dan Baskara Yudha. Empat sisanya adalah warga sekitar pantai, dua diantaranya adalah nelayan yang mengenal mereka. 

Eva membaca cepat, matanya menangkap kalimat yang serupa tapi dengan nada yang berbeda: 

“Saksi mengaku melihat korban terakhir kali di ruang latihan musik pada pukul 16:30 WIB. Sempat ada pertengkaran di antara empat anak itu dengan korban. Tapi akhirnya korban pergi lebih dulu dari ruang latihan musik.” 

“Saksi mengaku melihat korban di tebing pantai yang curam pada pukul 16:45 WIB. Korban tampak normal.” 

Halaman berikutnya adalah Laporan Hasil Olah TKP — penuh dengan beberapa foto lokasi kejadian yang dieratkan oleh lem. Dalam gambar, tebing pantai tampak curam, batuan di bawahnya tajam, dan laut di bawah berwarna gelap. Keterangan di bawah foto berbunyi singkat: “Tak ada yang mencurigakan di lokasi kejadian. Tak ada tanda-tanda perkelahian di lokasi maupun kerusakan.” 

Berikutnya, Laporan Forensik dari RSUD Velantara, ditandatangani oleh dokter forensik. Hasilnya singkat: “Penyebab kematian: tenggelam. Beberapa bagian tubuh memar. Memar itu diperkirakan didapat setelah terjatuh ke lautan.” 

Lembar keempat  adalah  Lampiran Barang Bukti. Di sana, tercantum satu barang utama: selembar surat peninggalan korban, disertai foto dari surat itu. Tulisan tangan yang goyah itu berbunyi: “Maafkan aku, teman-teman. Aku sudah terlalu lelah.” 

Lembar terakhir adalah Surat Penutupan Kasus, ditandatangani oleh Kepala Unit Reskrim kala itu. Di bagian bawah terdapat stempel merah yang berbunyi: “KASUS DITUTUP. TIDAK ADA UNSUR PIDANA.” 

Eva menatap halaman terakhir cukup lama sebelum menutup mapnya perlahan. Ia mencatat poin-poin penting itu di catatan ponselnya, lalu memotret beberapa halaman untuk referensi. 

Dari arsip itu, tampaknya kasus Kalista Devi memang diakhiri sebagai bunuh diri akibat tekanan hidup. Surat peninggalan itu menjadi bukti paling kuat. Namun bagi Eva, ada sesuatu yang tidak selaras. Semua laporan terlalu rapi, terlalu sederhana—seolah dibuat menenangkan publik, bukan untuk mencari kebenaran. 

Dalam lembar BAP, jelas tertulis bahwa empat anggota band Crimson Sky sempat berdebat dengan Kalista sebelum kematiannya. Tapi tidak ada keterangan lebih lanjut tentang isi pertengkaran itu. Tidak ada catatan emosi, motif, atau hubungan mereka. 

Semuanya berhenti di titik itu. 

Eva kembali menatap nama-nama di daftar saksi. Sena Lazuardi. Arka Gading. Bayu Rendra. Baskara Yudha. Empat nama yang kini berputar di kepalanya—seperti benang kusut yang menunggu diurai. 

Ia menarik napas panjang. 

Kasus ini, pikirnya, tidak sesederhana bunuh diri. Ada sesuatu yang disembunyikan di baliknya. Sesuatu yang jauh lebih gelap dari sekadar tekanan hidup. 

***

Jam menunjukkan pukul sebelas siang ketika Eva akhirnya melangkah keluar dari kantor kepolisian kota Velantara. Udara luar terasa lebih hangat dari yang ia ingat, sementara pikirannya masih dipenuhi tumpukan kalimat dari berkas kasus kematian Kalista Devi. Ia menghela napas panjang; pikirannya terasa padat, perutnya mulai protes minta diisi. Sebelum melanjutkan penyelidikan kecilnya, Eva memutuskan berhenti di sebuah warung kecil tak jauh dari pantai Velantara. Seperti kebanyakan warung di pinggir pantai, menu yang ditawarkan serba hasil laut—ikan kembung, kepiting, hingga beberapa jenis ikan musiman yang jarang ditemui di pasar. 

Pilihan Eva jatuh pada cumi bakar. Dagingnya lembut, sedikit gosong di pinggir, dengan aroma arang yang menggoda. Ia makan cepat, tapi pikirannya terus berkelana ke lembar-lembar berkas yang tadi dibacanya. Begitu selesai, ia segera beranjak menuju lokasi bunuh diri Kalista Devi. 

Perjalanan ke sana tak mudah. 

Lihat selengkapnya