Hari berikutnya.
Pagi itu, cahaya matahari menembus tirai kamar penginapan Eva, menandai dimulainya hari baru yang akan membawanya lebih dalam ke masa lalu Senzo. Sambil menyesap kopi dari gelas kertas, ia menggulir layar ponselnya—membaca berita dan tanggapan publik yang membludak di media sosial. Berita tentang dua teman sekolah lama Senzo yang menjadi korban runtuhnya Nova Hotel kini menghiasi setiap lini masa. Tagar #PrayForSenzo kembali naik ke puncak trending, dan publik seolah terbagi dua: sebagian merasa iba pada Senzo yang kini terbaring koma, sementara sebagian kecil lainnya mulai mencurigai bahwa semua ini bukanlah kebetulan semata.
Eva tersenyum tipis. Publik memang cepat bereaksi. Mereka haus akan misteri, dan tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menggali lebih dalam. Ia tahu—besok, saat berita tentang masa lalu Senzo dan band lamanya Crimson Sky tayang, ledakan berikutnya akan terjadi. Ia merasa seperti sedang duduk di depan bom waktu yang dirakitnya sendiri, hanya tinggal menunggu detik terakhir sebelum semuanya meledak.
Hari itu, agendanya padat: mengunjungi rumah lama Senzo, rumah keluarga Kalista Devi, dan kediaman tiga teman satu band lainnya.
Alamat pertama: rumah lama Senzo.
Bangunan itu berdiri di dataran tinggi, dengan pemandangan langsung menghadap laut Velantara. Dari sana, mata bisa menangkap garis cakrawala yang menelan matahari di waktu senja—pemandangan yang begitu tenang, nyaris mustahil dipercaya bahwa pemilik rumah ini dulu menyimpan cerita kelam.
Sayangnya, rumah itu kini sudah ditempati orang lain.
“Maaf, Mbak,” ujar pemilik rumah, seorang pria paruh baya. “Saya beli rumah ini lewat agen. Jadi enggak kenal pemilik sebelumnya.”
Eva mengangguk pelan. Ia sudah terbiasa dengan jalan buntu. Ia lalu berkeliling lingkungan sekitar, berbicara dengan beberapa tetangga yang tampak lebih ramah.
“Oh, Sena ya …” ujar seorang ibu paruh baya dengan nada hangat, matanya menerawang seolah kembali ke masa lalu. “Keluarga Sena itu baik sekali. Meski mereka pendatang dari kota besar, tapi enggak pernah sombong. Ayahnya Sena dulu orang pemerintahan, bagian pariwisata. Berkat dia, kota kecil ini mulai dikenal orang luar.”
Eva mendengarkan dengan seksama. Dari potongan kisah itu, ia tahu: Ayah Senzo adalah sosok penting di balik kebangkitan Velantara. Selama bertahun-tahun, pria itu berjuang memperkenalkan kota pesisir ini pada dunia—membangun infrastruktur, membuat video promosi, hingga menggagas Festival Nelayan yang kini menjadi tradisi tahunan.
Namun begitu Eva menyinggung soal teman-teman Senzo, suasana mendadak berubah. Senyum si ibu memudar. Tatapan ramah para tetangga lain berganti menjadi kaku, dingin, dan tertutup. Ada sesuatu yang mereka sembunyikan. Dan Eva bisa merasakannya.
Langkah berikutnya membawanya ke rumah Kalista Devi.
Rumah dua lantai itu terletak di gang yang berbeda, tapi karena topografi Velantara yang juga berbukit, rumah Kalista Devi—Lili, berada tepat di belakang rumah Senzo, seseorang bisa dengan mudah melihat halaman belakang rumah Kalista Devi.