CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #11

MASA LALU SENZO PART 1

Pria muda di hadapan Eva memperkenalkan dirinya sebagai Agra, teman satu sekolah Senzo dari SMP hingga SMA. Usianya sekitar dua puluh enam tahun—kulitnya legam, garis wajahnya keras, tapi matanya jujur seperti seseorang yang sudah terlalu sering berhadapan dengan laut. Ia bercerita sebagian besar anak muda Velantara kini telah pergi ke kota besar, meninggalkan kampung halaman demi hidup yang lebih layak. 

“Mereka enggak mau susah-susah,” ujarnya menatap laut di kejauhan. “Nelayan, pedagang ikan—kerja begini dianggap enggak punya masa depan.” 

Dari nada suaranya, Eva bisa menebak: Agra bukan sedang mengeluh, melainkan menerima nasibnya yang getir. 

Ia salah satu dari sedikit anak muda yang memilih tinggal. Ia melaut setiap malam, sementara istrinya akan berdagang ikan di pasar esok paginya. Kehidupan sederhana, keras, tapi nyata. 

“Maaf kalau aku lancang,” sela Eva pelan, mencoba mengukur lawan bicaranya. “Apa kamu selalu begini? Demi uang bisa melakukan apa saja?” 

Pertanyaan itu harusnya terdengar menuduh, tapi Eva melontarkannya dengan datar. Dalam hati, ia justru merasa lega. Orang seperti Agra mudah dibaca, mudah dikendalikan. Ia jauh lebih suka berurusan dengan orang yang terbuka soal uang daripada mereka yang membungkus niat dengan idealisme. Orang seperti ini—seperti Agra, Dimas—punya logika sederhana: selama dibayar, mereka akan bicara, bekerja. 

Agra tersenyum kecil, asap napasnya menipis di udara pantai yang dingin. “Yah … siapa sih yang enggak butuh uang, Bu? Jaman sekarang semua orang hidup dari situ. Kalau aku punya bakat lain, aku pasti sudah keluar dari kota ini. Tapi nyatanya—” ia mengangkat bahunya pelan, “ini satu-satunya hal yang bisa aku lakukan dengan baik. Melaut, bertaruh nyawa tiap hari.” 

Eva mengangguk pelan. Ia tahu, menjadi nelayan bukan sekadar mencari ikan. Itu tentang melawan laut, cuaca, dan nasib—pekerjaan yang hanya dihargai sedikit tapi menuntut segalanya. 

“Oke,” katanya akhirnya. “Aku akan bayar kamu sesuai dengan nilai informasimu. Semakin penting, semakin tinggi bayarannya. Gimana?” 

Agra mengulurkan tangan, telapak tangannya kasar menunggu jabatan. Eva sempat ragu, tapi akhirnya menyambut tangan itu—kesepakatan diam-diam di antara dua orang yang sama-sama tahu harga dari sebuah rahasia. 

“Kalau gitu,” ujar Agra, tersenyum tipis, “gimana kalau kita pindah tempat? Di sini terlalu ramai untuk membicarakan hal penting.” 

Eva mengangguk setuju. Agra menemaninya kembali ke warung, membantu membungkus makanan yang belum sempat ia makan, lalu membawa semuanya tanpa menunggu diminta. Setelah itu, mereka berjalan melewati gang sempit menuju rumahnya. 

Rumah Agra sederhana—dinding catnya sudah memudar. Di depan, istrinya yang sedang menidurkan anak kecil di buaian. Ketika melihat mereka datang, sang istri tersenyum ramah dan mempersilakan Eva masuk. Sambutan itu terasa hangat—mungkin karena mereka tahu, tamu ini membawa uang yang bisa membantu keluarga kecil itu bertahan. 

“Apa yang ingin Ibu tahu?” tanya Agra, sambil menuangkan kopi hitam ke cangkir besar. 

Lihat selengkapnya