CHANTS BENEATH THE CRIMSON SKY

mahes.varaa
Chapter #14

CRIMSON SKY PART 1

Hingga titik ini, Eva masih belum bisa menemukan alasan apapun yang masuk akal di balik kematian Kalista Devi. Yang bisa ia tangkap hanyalah mosaik masa lalu—kenangan penuh cahaya—tentang Senzo dan empat sahabatnya ketika membentuk Crimson Sky. Kisah itu dipenuhi warna-warna cerah, seolah bagian dari masa muda yang seharusnya disimpan sebagai nostalgia paling indah, bukan sebagai awal tragedi. 

“Begitu masuk SMA, Lili, Sena, Gading, Rendra, dan Yudha langsung mendaftar di klub musik,” lanjut Agra. Matanya menyala—kejernihan rasa kagum dari masa lalu. “Crimson Sky langsung mereka ajukan sebagai nama band. Sejak itu, tiap ada acara sekolah, mereka akan tampil di panggung.” 

Ia menyandarkan punggung, seolah kembali melihat sosok-sosok muda itu di atas panggung. “Suara Lili … unik. Seraknya halus, berat, tapi fleksibel. Nada tinggi dia sapu dengan mudah, nada rendah dia peluk dengan lembut. Berbeda dengan Sena. Suara Sena sebagai penyanyi laki-laki justru lembut, bersih, cocok sekali jadi back-up. Tapi terkadang mereka juga akan berduet. Saat itu terjadi, anak-anak sekolah langsung jatuh cinta sama perpaduan suara itu.” 

Dari penjelasan singkat itu saja, Eva bisa menilai: Crimson Sky adalah band sekolah yang dianggap paling menjanjikan tahun itu. Vokal kuat, permainan alat musik rapi, penampilan karismatik—kombinasi sempurna yang jarang dimiliki anak-anak seumuran mereka. Dan penilaian itu, bukan hanya ia saja yang menyetujuinya, Agra di hadapannya juga menilai sama. Hanya dengan melihat sorot mata pria itu, ia tahu, pria itu juga mengagumi Crimson Sky di masa mudanya. 

***

Tahun kedua SMA. 

Sebagai band anak sekolahan, nama Crimson Sky semakin dikenal. Setiap tampil, mereka menyapu panggung dengan pujian. Tapi menurut Lili, itu belum cukup. Mereka perlu berkembang. Mereka perlu identitas—sesuatu yang membuat mereka lebih dari sekadar band remaja yang jago membawakan lagu orang lain. 

Mereka butuh lagu sendiri. 

“Apa sih yang kamu tulis sejak tadi, Lili?” tanya Sena penasaran. 

SMA jauh lebih luas dari SMP mereka. Tujuh kelas, terbagi dengan jurusan, dan sayangnya—takdir kembali tak berpihak. Di tahun kedua ini, kelimanya lagi-lagi terpisah. Sena, Lili, dan Yudha masuk jurusan IPA, sementara Gading dan Rendra mengambil jurusan IPS. Namun bahkan dalam jurusan yang sama, tak satupun dari mereka yang satu kelas. Hari-hari mereka tidak lagi sesederhana duduk berdekatan; mereka harus menciptakan ruang pertemuan sendiri. 

Setiap jam istirahat tiba, keempat anak laki-laki itu akan menuju kelas Lili. Lalu mereka makan di kantin, membicarakan apa yang terjadi di kelas, pelajaran, acara sekolah, dan tentu saja—Crimson Sky. 

Tapi hari itu, Lili tampak gelisah. Ia berkutat dengan buku catatan kecil, menulis, mencoret, menggumam, lalu menulis lagi. 

“Makan yang benar, Lili,” omel Sena. Sejak mie ayam datang—menu yang dipesan Lili sendiri–gadis itu tak menyentuhnya. Matanya terpaku pada halaman di pangkuannya sampai-sampai mie itu telah mengembang. 

“Ehm …” Lili hanya mengangguk, mengambil satu suapan besar seperti robot, lalu kembali menunduk pada buku catatan kecilnya. 

Sena mendesis pelan. Lalu tanpa peringatan, tangannya mendarat di atas kepala Lili, menekan kepala gadis itu agar tak bisa bergerak. “Yudha, ambil bukunya!” 

“Sena!!” Lili berteriak, mencoba meraih buku catatannya yang sudah berhasil direbut Yudha. Tapi Sena menahan kepalanya mantap, membuat Lili tak bisa bergerak ke mana-mana. 

“Habiskan dulu makan siangmu!” tegur Sena. “Kamu punya penyakit lambung. Kalau kamu sakit, nanti aku yang akan dimarahi Ibumu!” 

“Sialan kamu, Sena!” gerutu Lili. Namun ia tak punya pilihan. Ia mengambil sendok dan akhirnya makan—meski wajahnya memerah karena kesal. 

Slurrp!!

Ia menyeruput mie ayam besar-besaran, lebih untuk membebaskan diri dari pada karena lapar. 

“Apa ini lirik lagu?” tanya Yudha, membalik halaman catatan Lili sambil menunjukkannya pada Gading dan Rendra. 

Begitu yakin Lili makan, Sena melepaskan tekanannya. Lili bisa saja mengangkat kepala, tapi ia tetap menunduk, entah karena malu atau karena ingin menghindari tatapan empat pasang mata yang kini bersiap untuk menginterogasinya. 

Lihat selengkapnya